Kamis, 26 April 2012

MAKALAH USHUL FIQHI


BAB I
DALIL-DALIL SYARI’AT
Definisi Dalil
            Dalil, dalam bahasa Arab yaitu orang yang menunjuki kepada apa saja, baik kaidah (apa yang dapat diserap oleh panca indera), maupun ma’nawi (yang berada dalam jiwa) tentang baik dan buruk.
Adapun artinya menurut  istilah ushul yaitu apa yang berdasarkan pandangan yang benar terhadap hukum syar’i yang berkenaan dengan perbuatan atas jalan qath’i (pasti) atau dzan (persangkaan).
Dalil Syar’i dengan Ijma’
            Telah ditetapkan dengan suatu ketetapan bahwa dalil syar’i yang dipergunakan oleh hukum amaliah itu, dikembalikan kepada empat hal yaitu, Al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas. Keempat dalil ini sudah disepakati oleh umat Islam.
Dalil I : Al-Qur’an
Yang menjadi dasar hukum pertama dalam islam ialah Al-Qur’an:
-          Khawashah
-          Yang bersangkut dengan hujah
-          Macam-macam hukumnya
-          Dalil-dalil ayatnya. Ada yang qathi’ dan ada pula yang dzan.
Al Khawashah (istimewa)
            Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh Ruhul Amin kedalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa Arab berikut artinya.
            Diantara keistimewaan Al-Qur’an itu ialah lafadz dan maknanya itu dari Allah SWT lafadz-lafadz berbahasa Arab itulah yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi. Dari sinilah bercanang-canang sebagai berikut:
1.      Apa yang diilhamkan Allah kepada Rasul itu berupa makna-makna, bukan diturunkan berbentuk lafadz-lafadznya.
2.      Menafsirkan surat atau ayat dengan lafadz bahasa Arab.
3.      Terjemah surat atau ayat dengan bahasa asing (yang bukan bahasa Arab).
Hujah
            Bukti bahwa Al-Qur’an itu adalah hujah terhadap orang, dan hukum-hukum Al-Qur’an itu merupakan undang-undang yang wajib bagi orang mengikutnya.
Arti a’jaz dan rukun-rukunnya
            A’jaz artinya dalam bahasa Arab lemah itu dibangsakan kepada lainnya dan tetap demikian. A’jaz Al-Qur’an itu terhadap orang, artinya orang tetap tidak sanggup mendatangkannya contoh yang seperti itu.
            Dan jangan memantapkan a’jaz, artinya dia tetap tidak berdaya terhadap lainnya, kecuali bila dia cukup mempunyai tiga.
1.      Bertanding. Atinya, minta berlomba, bertempur dan penyanggah.
2.      Terdapat keinginan yang membawa sikap bertanding itu kepada perlombaan, perkelahian dan penyanggahan.
3.      Meniadakan yang menghalangi perlombaan ini.
Bentuk Kelemahan
            Pertentangan yang terdapat menurut lahiriahnya itu yang dikemukakan oleh beberapa ayat itu telah diterangkan oleh ahli-ahli tafsir, sebenarnya bukanlah pertentangan. Pada zahirnya memang bertentangan, karena tidak diperhatikan sunnguh-sungguh. Bila diperhatikan sungguh-sungguh, maka jelaslah bahwa dia bukan pertentangan.
1.      Kalau ayat bersumber dari selain Allah , maka sudah barang tentu banyak terdapat perbedaan.
2.      Ayat-ayat yang tadinya tertutup, sekarang disingkapkan oleh ilmu menurut penyelidikan ilmu ilmiah.
3.      Membertitahukan tentang kejadian-kejadian yang tidak diketahui orang.
4.      Fasih lafadznya, balaghah alineanya dan kuat pengaruhnya.
Macam-macam Hukumnya
            Ada tiga macam hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.      Hukum i’tiqadiah, yaitu yang bersangkut apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kiamat.
2.      Hukum khulqiyah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf, akan meningkatkan moral, budi pekerti, adab sopan santun dan menjauhkan diri dari sikap yang tercela.
3.      Hukum amaliah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari perkataan, perbuatan, perjanjian dan segala macam tindakan.
Hukum amaliah itu dalam Al-Qur’an, mengatur dua macam hal.
a.       Hukum ibadat, sembahyang, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah dan lain-lain ibadat yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan tuhannya.
b.      Hukum muamalat, tentang perjanjian, segala macam tindakan, hukuman kejahatan dan lain-lain.
Hukum yang dikembalikan kepada  ibadat, dinamakan dalam istilah syar’i, hukum mu’amalat. Adapundalam istilah sekarang, hukum mu’amalat itu bermacam-macam, menurut apa yang bersangkut dengannya, dan apa yang dituju dengannya terhadap beracam-macam hal.
1.      Hukum ahwalul syahsyiah, yaitu yang bersangkut dengan keluarga. Yang dimaksud ialah mengatur hubungan suami isteri dan karib kerabat.
2.      Hukum mahduniah, yaitu yang bersangkut dengan mu’amalat pribadi, tukar-menukar dalam jual beli, upah-mengupah, rungguan, jaminan, perkonsian. Bertujuan mengatur hubungan pribadi yang bersangkut dengan harta benda.
3.      Hukum jina-iah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari mukallaf tentang kejahatan, dan apa yang sepatutnya menerima sanksi hukuman. Tujuannya ialah memelihara kehidupan orang, hartanya, nama baiknya dan hak-haknya.
4.      Hukum murafi’at, yaitu yang bersangkutan dengan hukum, sanksi dan sumpah. Tujuannya ialah mengatur keberanian untuk mewujudkan keadilan diantara orang banyak.
5.      Hukum dusturiah, yaitu yang bersangkut dengan peraturan hukum dan asal-usulnya. Tujuannya ialah untuk membatasi hubungan pemerintah dengan warga negara.
6.      Hukum dauliah, yaitu yang bersangkut dengan pergaulan Negara Islam dengan yang bukan Islam. Tujuannya yaitu membatasi hubungan Negara Islam dengan Negara-negara lain diwaktu damai dan waktu perang.
7.      Hukum iqtishadiah, wal maliah, yaitu yang bersangkut dengan hak orang meminta dan yang diharamkan dalam hal harta kekayaan. Tujuanya ialah mengatur yang menyangkut harta antara orang kaya dan orang miskin.
Dalil Ayat Al-Qur’an, Ada yang Qath’i dan Ada Pula yang Dzan
            Seluruh ayat Al-Qur’an itu adalah qath’i (pasti) dari pihak datangnya, tetapnya dan nukilannya itu dari Rasulullah kepada kita.
            Adapun nash-nash Al-Qur’an itu, bila ditinjau dari pihak menunjukkan apa yang dikandungnya itu merupakan hukum maka dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
1.      Nash Qathi yaitu dalil yang menunjukkan arti yang dapat dipahami dengan jelas.
2.      Nash Dzan yaitu apa yang menunjukkan makna, tapi mengandung hal-hal untuk mentakwilkan dan menyimpang dari arti ini atau arti lain.
Dalil 2 : Sunnah
            Definisi Sunnah dalam arti syar’i ialah apa yang bersumber dari Rasul baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapannya.
            Sunnah qauliyah yaitu hadis-hadis yang diucapkan Nabi SAW.
            Sunnah fi’liyah yaitu perbutan-perbuatan Nabi SAW.
            Sunnah taqririah yaitu apa yang ditetapkan oleh Rasul, dari apa yang bersumber dari sebagian Sahabat.
            Hujjahnya, kaum Muslimin pernah mengadakan ijma’, untuk memecahkan masalah. Karena tidak bersumber dari Rasulullah, baik perkataan maupun perbuatan, atau takrir (ketetapan). Dimaksud dengan ini ialah mengadakan tasyri’ (membuat undang-undang atau peraturan-peraturan).
Bukti-bukti terhadap Hujah Sunnah itu Banyak
1.      Nash Al-Qur’an.
2.      Ijma’ Sahabat, diwaktu Nabi masih hidup dan sesudah wafatnya.
3.      Didalam Al-Qur’an itu ada hal-hal yang diwajibkan kepada orang untuk menjalankannya.
Adapun Sunnah itu dinisbahkan kepada Al-Qur’an. Dan dari segi hujah, maka orang harus kembali kepada Al-Qur’an, untuk mengambil kesimpulan hukum syar’i. Apabila tidak terdapat nash hukumnya dalam Al-Qur’an maka baru orang kembali kepada sunah. Menisbahkan sunah kepada Al-Qur’an itu dari sudut hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka jangan memakai salah satu dari tiga perkara.
1.      Adakalanya sunah itu merupakan suatu ketetapan dan menguatkan hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an.
2.      Adakalanya pula sunah itu merupakan engsel pintu, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an itu secara mujmal (global).
3.      Adakalanya sunah itu menetapkan hukum dan membuat hukum.
Pembagian Sunah
            Dengan mengambil i’tibar dari Rasulullah, maka sunah itu dapat dibagi atas tiga bagian:
1.      Sunah mutawatir ialah apa yang dirawikan dari Rasul itu, semua orang sepakat mengatakan hadis ini tidak bohong. Karena orang yang merawikan itu banyak.
2.      Sunah masyhur, disini orang yang merawikan hadis dari Rasulullah itu hanya seorang, dua orang, tiga orang atau lebih.
Perbedaan antara Sunah Mutawatir dengan Masyhur
            Sunah mutawatir, tiap-tiap lingkaran (rombongan) orang dalam silsilah sanadnya itu berturut-turut, sejak permulaan diterimanya dari Rasul sampai kepada kita.
            Adapun sunah masyhur halaqah pertama, tidak semua sanadnya itu yang mutawatir. Tapi yang menerima dari Rasul itulah hanya seorang atau dua orang atau jama’, namun jama’nya itu belum sampai kepada jama’ mutawatir. Seluruh halaqahnya itu merupakan jama’.
3.      Sunah Ahad, yang merawikan itu hanya seorang, atau dua orang atau jama’, tidak sampai ke batas mutawatir.


Qath’I dan dzan
            Ditinjau dari pihak datangnya, maka sunah mutawatir itu qath’i dari Rasul sedangkan sunah masyhur qath’i  itu datangnya dari para sahabat.
            Sunah Ahad Dzaniah itu datangnya dari Rasul, karena sanadnya tidak mempergunakan qath’i.
Perkataan dan Perbuatan Rasulullah yang Tidak Disyari’atkan
1.      Apa yang bersumber dari Nabi itu, tabi’at manusia, yaitu berdiri, duduk, berjalan, tidur makan dll.
2.      Apa yang bersumber dari nabi itu berupa pengetahuan manusia.
3.      Apa yang bersumber dari Rasulullah, berupa dalil-dalil syar’i, yaitu hal-hal yang khusus bagi nabi SAW.
Yang dimaksud dengan sunah ialah metode yang dipakai oleh Rasul dan apa-apa yang dialaminya selagi masih hidup.
Dalil : 3 Ijma’ (Ijmak)
            Ijma’ menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa.
Rukun-rukun Ijma’ ada empat
1.      Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang.
2.      Sepakat atas hukum syar’i, tentang suatu peristiwa.
3.      Ada kesepakatan itu dimulai.
4.      Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum.
Hujahnya, inilah rukun ijma’ yang keempat. Pendapat ini dikemukakan orang jauh setelah wafatnya Nabi SAW.
Bukti terhadap hujah ijma’ itu sebagai berikut:
1.      Kita harus taat kepada Allah, Rasul dan Aulil Amri.
2.       Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat Islam.
Kemungkinan Diadakan Sidang
Sidang Ijma’
            Dalam hal ini orang kembali pada peristiwa-peristiwa hukum yang diputuskan oleh para Sahabat. Pelajaran yang dapat diambil dari hukum yang mereka putuskan itu, inilah yang disebut ijma’.

Macam-macamnya
            Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam:
a.       Ijma’ sharih (bersih atau murni), yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa atau ijma’ hakiki.
b.      Ijma’ sukuti, sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara atau ijma’ i’tibari.
Adpun ditinjau dari pihak ini maka ijma’ itu ada yang qath’i dan ada yang dzan.
a.       Ijma’ qath’i, yaitu ijma’ sharih, dengan pengertian bahwa hukumnya itu di qath’ikan olehnya.
b.      Ijma’ dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya itu masih diragukan.
Dalil 4 : Qias
Qias dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini.
            Di sini dikemukakan contoh-contoh qias syar’i dan hukum Negara.
a.       Minum khamar itu hukumnya telah ditetapkan oleh nash, yaitu haram.
b.      Peristiwa ahli waris membunuh yang mewariskan sesuatu itu oleh ditetapkan hukumnya.
c.       Jual beli yang dilakukan pada waktu terdengar adzan untuk sembahyang Jum’at, hukumnya yaitu makruh.
d.      Yang telah ditandatangani
e.       Pencurian yang terjadi antara usal dengan furu’ (yang menjadi pokok dan yang menjadi cabangnya) itu, dan antara suami isteri tidak boleh dijatuhi sanksi hukum, kecuali ditunttut atas nama penjahat.
Hujah
            Yang berdalilkan kepada sunah itu ada dua dalil yaitu:
a.       Hadis Mu’az bin jabal, ketika Rasulullah bermaksud mengutus ke Yaman.
b.      Ditetapkan dalam hadis sahih, bahwa Rasulullah SAW serinh kali orang mengemukakan kepadanya, jika tidak ada wahyu yang akan dijadikan dasar hukum, maka dia mengambil dalil hukumnya itu yaitu dengan jalan kias.
c.       Perbutan Sahabat dan perkataan-perkataannya.
d.      Hasil dari buah pikiran itu, ada tiga perkara.
1.      Allah SWT mensyariatkan hukum itu tidak lain dari untuk keselamatan.
2.      Nash Al-Qur’an dan sunah itu terbatas sedangkan terjadinya peristiwa yang harus dipecahkan itu tidak terbatas.
3.       Kias itu adalah dlil yang dikuatkan oleh fitrah.

Beberapa Syabah itu Menafikan Kias
Rukun-rukunnya
            Tiap-tiaap kias itu terdiri dari empat rukun, yaitu:
a.       Ashal yaitu apa yang terdapat nash dalam hukumnya itu. Dinamakan juga
-          Muqayas alaih
-          Mahmul alaih
-          Musyabah bih
b.      Furu yaitu apa yang tidak terdapat nash dalam hukumnya. Maksud menyamakannya dengan ashal pada hukumnya, dinamakan:
-          Muqayas
-          Mahmul alaih
-          Musyabah
c.       Hukum Ashal yaitu hukum syar’i, yang terdapat nash pada ashal itu, dimaksud akan menjadi hukum furu’.
d.      Illat menyifatkan sesuatu yang dibina atasnya hukum ashal dan dibina atas wujudnya pada furu’ itu disamakan dengan ashal pada hukumnya.
Ashal disyaratkan pada hukum supaya dita’dilkan kepada furu’ dengan kias. Syarat-syaratnya adalah:
1.      Hukum syar’i amaliah itu ditetapkan dengan nash. Adapun hukum syar’i amali, yaitu ditetapkan dengan ijma’, dalam menta’dilkan denga perantara kias ada dua pendapat.
a.       Tidak sah menta’dilkannya.
b.      Sah menta’dilkannya.
2.      Adanya hukum pokok.
3.      Hukum ashal itu tidak dikhususkan. Dan tidak boleh hukum ashal itu dikhususkan dalam dua hal:
a.       Apabila illat hukum itu tidak menggambarkan adanya selain dari ashal.
b.      Ada dalil yang menunjukkan kekhusususan ashal.
4.      Illat kias.
Definisi Illat
            Illat yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar dan diatasnya dibina hukumnya, dan dengannya itu diketahui adanya hukum itu pada furu’.
            Illat hukum yaitu perintah zahir yang dibina hukum diatasnya dan mengikat wujud dengan a’dam.
Syarat Illat
1.      Sifatnya itu jelas.
2.      Adanya sifat terkuat.
3.      Sifatnya itu sesuai.
4.      Yang disifatkan kepada ashal itu tidak boleh pendek.
Pembagian Illat
1.      Al-Manasib Al-Muatsir, menyifatkan sesuatu yang sesuai, disusun oleh syar’i hukum atas kesepakatan.
2.      Al Munasib Al Mala-im, yaitu tindakan yang sesuai, hukum yang disusun syar’i atas kesepakatan.
3.      Manasib Mursil, yaitu washaf yang tidak disusun oleh syar’i, yang merupakan hukum atas kesepakatan.
4.      ManasibMalgha, yaitu washaf yang menjelasksan bahwa dalam membina hukum, perlu dimantapkan kemaslahatan.
Masalik Al-Illat
            Yang dimaksud dengan masalik al illat, yaitu jalan-jalan yang akan menyampaikan kepada ma’rifatnya, Ada tiga masalik al illat yang masyhur yaitu:
1.      Nash.
2.      Ijma’.
3.      Sabrun dan taqsim.
Dalil 5 : Istihsan
            Istihsan menurut bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah ushul, yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli (jelas)kepada kias khafi (yang tersembunyi).
            Macam-macam Istihsan:
a.       Kias khafi itu menguatkan qias jalli.
b.      Istisna Juz-iah itu dari hukum kulli.
-          Kias zahir, peristiwa ini dihubungkan antara yang mendakwa dan yang membantah.
-          Kias khafi, peristiwa ini dihubungkan kepada setiap peristiwa yang dihadapi hakim.
-          Bentuk kias, sisa yang dimakan oleh binatang yang haram dagingnya itu seperti binatang buas yang menerkam binatang ternak.
-          Bentuk istihsan, burung buas itu, haram dagingnya.
-          Contoh bentuk kedua, syari’at melarang orang memperjual belikan sesuatu yang tidak ada.
-          Hujahnya, dari definisi istihsan dan penjelasan tentang macamnya ini maka jelaslah bahwa pada hakikatnya dia bukan menjadi sumber tasyri’ yag berdiri sendiri.
Dalil 6 : Mashlahat Mursilah
            Mashlahah mursilah, artinya muthlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemashlahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ hukum untuk ditetapkan.
            Dalil yang mengemukakan hujah:
a.       Memperbaharui kemashlahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan-larangan.
b.      Ketetapan tasyri’ sahabat dan tabi’in.
Syarat-syarat untuk dujadikan hujah
a.       Mashalahah hakikat, bukan mashalahah wahamiah (angan-angan).
b.      Ada kemashlahatan umum.
c.       Tasyri’ itu tidak boleh bagi kemashlahatan hukum ini, atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau ijma’.
Dalil 7 Al-Arfu
            Al-arfu yaitu apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang.

Macam-macamnya
            Arfu ada dua macam yaitu arfu yang sahih dan arfu yang fasid.
a.       Arfu sahih yaitu apa yang saling diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari’at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib.
b.      Mahar fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi berlainan dari syari’at, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib.
Dalil 8 : Istish-hab
            Istish-hab menurut bahasa yaitu pelajaran yang terambil dari sahabat Nabi SAW. Dan menurut istilah ushul yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk mengubah keadan itu.
Hujahnya
            Istish-hab itu lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar bagi mujtahid untuk mengetahui hukum, tentang apa yang dikemukakan kepadanya.
Dalil 9 : Syari’at dari Orang yang Sebelum Kita
            Al-Qur’an dan sunah sahih itu telah mengisahkan tentang salah satudari hukum syar’i, yang disyari’atkan Allah kepada umaat yang telah dahulu dari kita.
Mahzab Sahabat
            Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jamaah Sahabat. Mereka itu mengetahui fikih ilmu pengetahuan dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul.
            Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perkataan sahabat. Apa-apa yang tidak terfikir oleh ra’i dan akal, dapat dijadikan hujah. Perbedaan pendapat itu hanya terdapat dari yang bersumber dari ra-I dan ijtihad.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar