BAB I
DALIL-DALIL SYARI’AT
Definisi Dalil
Dalil, dalam bahasa Arab yaitu orang
yang menunjuki kepada apa saja, baik kaidah (apa yang dapat diserap oleh panca
indera), maupun ma’nawi (yang berada dalam jiwa) tentang baik dan buruk.
Adapun
artinya menurut istilah ushul yaitu apa
yang berdasarkan pandangan yang benar terhadap hukum syar’i yang berkenaan dengan
perbuatan atas jalan qath’i (pasti) atau dzan (persangkaan).
Dalil Syar’i dengan Ijma’
Telah ditetapkan dengan suatu
ketetapan bahwa dalil syar’i yang dipergunakan oleh hukum amaliah itu,
dikembalikan kepada empat hal yaitu, Al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas. Keempat
dalil ini sudah disepakati oleh umat Islam.
Dalil I : Al-Qur’an
Yang
menjadi dasar hukum pertama dalam islam ialah Al-Qur’an:
-
Khawashah
-
Yang bersangkut dengan hujah
-
Macam-macam hukumnya
-
Dalil-dalil ayatnya. Ada yang qathi’ dan
ada pula yang dzan.
Al Khawashah (istimewa)
Al-Qur’an
adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh Ruhul Amin kedalam hati Rasulullah
Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa Arab berikut artinya.
Diantara keistimewaan Al-Qur’an itu
ialah lafadz dan maknanya itu dari Allah SWT lafadz-lafadz berbahasa Arab
itulah yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi. Dari sinilah bercanang-canang
sebagai berikut:
1. Apa
yang diilhamkan Allah kepada Rasul itu berupa makna-makna, bukan diturunkan
berbentuk lafadz-lafadznya.
2. Menafsirkan
surat atau ayat dengan lafadz bahasa Arab.
3. Terjemah
surat atau ayat dengan bahasa asing (yang bukan bahasa Arab).
Hujah
Bukti bahwa Al-Qur’an itu adalah
hujah terhadap orang, dan hukum-hukum Al-Qur’an itu merupakan undang-undang
yang wajib bagi orang mengikutnya.
Arti a’jaz
dan rukun-rukunnya
A’jaz artinya dalam bahasa Arab
lemah itu dibangsakan kepada lainnya dan tetap demikian. A’jaz Al-Qur’an itu terhadap
orang, artinya orang tetap tidak sanggup mendatangkannya contoh yang seperti
itu.
Dan jangan memantapkan a’jaz,
artinya dia tetap tidak berdaya terhadap lainnya, kecuali bila dia cukup
mempunyai tiga.
1. Bertanding.
Atinya, minta berlomba, bertempur dan penyanggah.
2. Terdapat
keinginan yang membawa sikap bertanding itu kepada perlombaan, perkelahian dan
penyanggahan.
3. Meniadakan
yang menghalangi perlombaan ini.
Bentuk Kelemahan
Pertentangan yang terdapat menurut
lahiriahnya itu yang dikemukakan oleh beberapa ayat itu telah diterangkan oleh
ahli-ahli tafsir, sebenarnya bukanlah pertentangan. Pada zahirnya memang
bertentangan, karena tidak diperhatikan sunnguh-sungguh. Bila diperhatikan
sungguh-sungguh, maka jelaslah bahwa dia bukan pertentangan.
1. Kalau
ayat bersumber dari selain Allah , maka sudah barang tentu banyak terdapat
perbedaan.
2. Ayat-ayat
yang tadinya tertutup, sekarang disingkapkan oleh ilmu menurut penyelidikan
ilmu ilmiah.
3. Membertitahukan
tentang kejadian-kejadian yang tidak diketahui orang.
4. Fasih
lafadznya, balaghah alineanya dan kuat pengaruhnya.
Macam-macam Hukumnya
Ada tiga macam hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum
i’tiqadiah, yaitu yang bersangkut apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf
tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya
dan hari kiamat.
2. Hukum
khulqiyah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf,
akan meningkatkan moral, budi pekerti, adab sopan santun dan menjauhkan diri
dari sikap yang tercela.
3. Hukum
amaliah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari perkataan,
perbuatan, perjanjian dan segala macam tindakan.
Hukum
amaliah itu dalam Al-Qur’an, mengatur dua macam hal.
a. Hukum
ibadat, sembahyang, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah dan lain-lain ibadat yang
bertujuan mengatur hubungan manusia dengan tuhannya.
b. Hukum
muamalat, tentang perjanjian, segala macam tindakan, hukuman kejahatan dan
lain-lain.
Hukum
yang dikembalikan kepada ibadat,
dinamakan dalam istilah syar’i, hukum mu’amalat. Adapundalam istilah sekarang,
hukum mu’amalat itu bermacam-macam, menurut apa yang bersangkut dengannya, dan
apa yang dituju dengannya terhadap beracam-macam hal.
1. Hukum
ahwalul syahsyiah, yaitu yang bersangkut dengan keluarga. Yang dimaksud ialah
mengatur hubungan suami isteri dan karib kerabat.
2. Hukum
mahduniah, yaitu yang bersangkut dengan mu’amalat pribadi, tukar-menukar dalam
jual beli, upah-mengupah, rungguan, jaminan, perkonsian. Bertujuan mengatur
hubungan pribadi yang bersangkut dengan harta benda.
3. Hukum
jina-iah, yaitu yang bersangkut dengan apa yang bersumber dari mukallaf tentang
kejahatan, dan apa yang sepatutnya menerima sanksi hukuman. Tujuannya ialah
memelihara kehidupan orang, hartanya, nama baiknya dan hak-haknya.
4. Hukum
murafi’at, yaitu yang bersangkutan dengan hukum, sanksi dan sumpah. Tujuannya
ialah mengatur keberanian untuk mewujudkan keadilan diantara orang banyak.
5. Hukum
dusturiah, yaitu yang bersangkut dengan peraturan hukum dan asal-usulnya.
Tujuannya ialah untuk membatasi hubungan pemerintah dengan warga negara.
6. Hukum
dauliah, yaitu yang bersangkut dengan pergaulan Negara Islam dengan yang bukan
Islam. Tujuannya yaitu membatasi hubungan Negara Islam dengan Negara-negara
lain diwaktu damai dan waktu perang.
7. Hukum
iqtishadiah, wal maliah, yaitu yang bersangkut dengan hak orang meminta dan
yang diharamkan dalam hal harta kekayaan. Tujuanya ialah mengatur yang
menyangkut harta antara orang kaya dan orang miskin.
Dalil Ayat Al-Qur’an, Ada yang
Qath’i dan Ada Pula yang Dzan
Seluruh
ayat Al-Qur’an itu adalah qath’i (pasti) dari pihak datangnya, tetapnya dan
nukilannya itu dari Rasulullah kepada kita.
Adapun nash-nash Al-Qur’an itu, bila
ditinjau dari pihak menunjukkan apa yang dikandungnya itu merupakan hukum maka
dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
1. Nash
Qathi yaitu dalil yang menunjukkan arti yang dapat dipahami dengan jelas.
2. Nash
Dzan yaitu apa yang menunjukkan makna, tapi mengandung hal-hal untuk
mentakwilkan dan menyimpang dari arti ini atau arti lain.
Dalil
2 : Sunnah
Definisi Sunnah
dalam arti syar’i ialah apa yang bersumber dari Rasul baik perkataan, perbuatan
ataupun ketetapannya.
Sunnah qauliyah yaitu
hadis-hadis yang diucapkan Nabi SAW.
Sunnah fi’liyah
yaitu perbutan-perbuatan Nabi SAW.
Sunnah taqririah yaitu
apa yang ditetapkan oleh Rasul, dari apa yang bersumber dari sebagian Sahabat.
Hujjahnya, kaum
Muslimin pernah mengadakan ijma’, untuk memecahkan masalah. Karena tidak
bersumber dari Rasulullah, baik perkataan maupun perbuatan, atau takrir
(ketetapan). Dimaksud dengan ini ialah mengadakan tasyri’ (membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan).
Bukti-bukti
terhadap Hujah Sunnah itu Banyak
1.
Nash Al-Qur’an.
2.
Ijma’ Sahabat, diwaktu Nabi masih hidup
dan sesudah wafatnya.
3.
Didalam Al-Qur’an itu ada hal-hal yang diwajibkan
kepada orang untuk menjalankannya.
Adapun
Sunnah itu dinisbahkan kepada Al-Qur’an. Dan dari segi hujah, maka orang harus
kembali kepada Al-Qur’an, untuk mengambil kesimpulan hukum syar’i. Apabila
tidak terdapat nash hukumnya dalam Al-Qur’an maka baru orang kembali kepada
sunah. Menisbahkan sunah kepada Al-Qur’an itu dari sudut hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an, maka jangan memakai salah satu dari tiga perkara.
1.
Adakalanya sunah itu merupakan suatu
ketetapan dan menguatkan hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an.
2.
Adakalanya pula sunah itu merupakan
engsel pintu, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an itu secara mujmal (global).
3.
Adakalanya sunah itu menetapkan hukum
dan membuat hukum.
Pembagian
Sunah
Dengan mengambil
i’tibar dari Rasulullah, maka sunah itu dapat dibagi atas tiga bagian:
1.
Sunah
mutawatir ialah apa yang dirawikan dari Rasul itu, semua
orang sepakat mengatakan hadis ini tidak bohong. Karena orang yang merawikan
itu banyak.
2.
Sunah
masyhur, disini orang yang merawikan hadis dari Rasulullah
itu hanya seorang, dua orang, tiga orang atau lebih.
Perbedaan
antara Sunah Mutawatir dengan Masyhur
Sunah
mutawatir, tiap-tiap lingkaran (rombongan) orang
dalam silsilah sanadnya itu berturut-turut, sejak permulaan diterimanya dari
Rasul sampai kepada kita.
Adapun sunah
masyhur halaqah pertama, tidak semua sanadnya itu yang mutawatir. Tapi yang
menerima dari Rasul itulah hanya seorang atau dua orang atau jama’, namun
jama’nya itu belum sampai kepada jama’ mutawatir. Seluruh halaqahnya itu
merupakan jama’.
3.
Sunah
Ahad, yang merawikan itu hanya seorang, atau dua orang
atau jama’, tidak sampai ke batas mutawatir.
Qath’I
dan dzan
Ditinjau dari
pihak datangnya, maka sunah mutawatir itu qath’i dari Rasul sedangkan sunah
masyhur qath’i itu datangnya dari para
sahabat.
Sunah Ahad Dzaniah itu
datangnya dari Rasul, karena sanadnya tidak mempergunakan qath’i.
Perkataan
dan Perbuatan Rasulullah yang Tidak Disyari’atkan
1.
Apa yang bersumber dari Nabi itu,
tabi’at manusia, yaitu berdiri, duduk, berjalan, tidur makan dll.
2.
Apa yang bersumber dari nabi itu berupa
pengetahuan manusia.
3.
Apa yang bersumber dari Rasulullah,
berupa dalil-dalil syar’i, yaitu hal-hal yang khusus bagi nabi SAW.
Yang dimaksud dengan
sunah ialah metode yang dipakai oleh Rasul dan apa-apa yang dialaminya selagi
masih hidup.
Dalil
: 3 Ijma’ (Ijmak)
Ijma’ menurut
istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah
sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa.
Rukun-rukun
Ijma’ ada empat
1.
Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid
itu jumlahnya lebih dari seorang.
2.
Sepakat atas hukum syar’i, tentang suatu
peristiwa.
3.
Ada kesepakatan itu dimulai.
4.
Menetapkan kesempatan dari semua
mujtahid terhadap suatu hukum.
Hujahnya,
inilah rukun ijma’ yang keempat. Pendapat ini dikemukakan orang jauh setelah
wafatnya Nabi SAW.
Bukti
terhadap hujah ijma’ itu sebagai berikut:
1.
Kita harus taat kepada Allah, Rasul dan
Aulil Amri.
2.
Hukum yang disepakati
itu adalah hasil pendapat mujtahid umat Islam.
Kemungkinan
Diadakan Sidang
Sidang
Ijma’
Dalam hal ini
orang kembali pada peristiwa-peristiwa hukum yang diputuskan oleh para Sahabat.
Pelajaran yang dapat diambil dari hukum yang mereka putuskan itu, inilah yang
disebut ijma’.
Macam-macamnya
Ditinjau dari
sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam:
a.
Ijma’ sharih (bersih atau murni), yaitu
kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa atau ijma’ hakiki.
b.
Ijma’ sukuti, sebagian mujtahid itu
terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu
perkara atau ijma’ i’tibari.
Adpun
ditinjau dari pihak ini maka ijma’ itu ada yang qath’i dan ada yang dzan.
a.
Ijma’ qath’i, yaitu ijma’ sharih, dengan
pengertian bahwa hukumnya itu di qath’ikan olehnya.
b.
Ijma’ dzanni, yang menunjukkan atas
hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya itu masih
diragukan.
Dalil
4 : Qias
Qias
dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash
hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa
pada sebab hukum ini.
Di sini dikemukakan contoh-contoh qias syar’i dan hukum
Negara.
a.
Minum khamar itu hukumnya telah
ditetapkan oleh nash, yaitu haram.
b.
Peristiwa ahli waris membunuh yang
mewariskan sesuatu itu oleh ditetapkan hukumnya.
c.
Jual beli yang dilakukan pada waktu
terdengar adzan untuk sembahyang Jum’at, hukumnya yaitu makruh.
d.
Yang telah ditandatangani
e.
Pencurian yang terjadi antara usal
dengan furu’ (yang menjadi pokok dan yang menjadi cabangnya) itu, dan antara
suami isteri tidak boleh dijatuhi sanksi hukum, kecuali ditunttut atas nama
penjahat.
Hujah
Yang berdalilkan
kepada sunah itu ada dua dalil yaitu:
a.
Hadis Mu’az bin jabal, ketika Rasulullah
bermaksud mengutus ke Yaman.
b.
Ditetapkan dalam hadis sahih, bahwa
Rasulullah SAW serinh kali orang mengemukakan kepadanya, jika tidak ada wahyu
yang akan dijadikan dasar hukum, maka dia mengambil dalil hukumnya itu yaitu
dengan jalan kias.
c.
Perbutan Sahabat dan
perkataan-perkataannya.
d.
Hasil dari buah pikiran itu, ada tiga
perkara.
1. Allah
SWT mensyariatkan hukum itu tidak lain dari untuk keselamatan.
2. Nash
Al-Qur’an dan sunah itu terbatas sedangkan terjadinya peristiwa yang harus
dipecahkan itu tidak terbatas.
3. Kias itu adalah dlil
yang dikuatkan oleh fitrah.
Beberapa
Syabah itu Menafikan Kias
Rukun-rukunnya
Tiap-tiaap kias
itu terdiri dari empat rukun, yaitu:
a.
Ashal
yaitu
apa yang terdapat nash dalam hukumnya itu. Dinamakan juga
-
Muqayas alaih
-
Mahmul alaih
-
Musyabah bih
b.
Furu
yaitu
apa yang tidak terdapat nash dalam hukumnya. Maksud menyamakannya dengan ashal
pada hukumnya, dinamakan:
-
Muqayas
-
Mahmul alaih
-
Musyabah
c.
Hukum
Ashal yaitu hukum syar’i, yang terdapat nash pada ashal
itu, dimaksud akan menjadi hukum furu’.
d.
Illat
menyifatkan
sesuatu yang dibina atasnya hukum ashal dan dibina atas wujudnya pada furu’ itu
disamakan dengan ashal pada hukumnya.
Ashal
disyaratkan pada hukum supaya dita’dilkan kepada furu’ dengan kias.
Syarat-syaratnya adalah:
1.
Hukum syar’i amaliah itu ditetapkan dengan
nash. Adapun hukum syar’i amali, yaitu ditetapkan dengan ijma’, dalam
menta’dilkan denga perantara kias ada dua pendapat.
a. Tidak
sah menta’dilkannya.
b. Sah
menta’dilkannya.
2.
Adanya hukum pokok.
3.
Hukum ashal itu tidak dikhususkan. Dan
tidak boleh hukum ashal itu dikhususkan dalam dua hal:
a. Apabila
illat hukum itu tidak menggambarkan adanya selain dari ashal.
b. Ada
dalil yang menunjukkan kekhusususan ashal.
4.
Illat kias.
Definisi
Illat
Illat yaitu
menyifatkan sesuatu kepada dasar dan diatasnya dibina hukumnya, dan dengannya
itu diketahui adanya hukum itu pada furu’.
Illat hukum yaitu perintah zahir yang dibina hukum
diatasnya dan mengikat wujud dengan a’dam.
Syarat
Illat
1.
Sifatnya itu jelas.
2.
Adanya sifat terkuat.
3.
Sifatnya itu sesuai.
4.
Yang disifatkan kepada ashal itu tidak
boleh pendek.
Pembagian
Illat
1.
Al-Manasib
Al-Muatsir, menyifatkan sesuatu yang sesuai, disusun
oleh syar’i hukum atas kesepakatan.
2.
Al
Munasib Al Mala-im, yaitu tindakan yang sesuai, hukum yang
disusun syar’i atas kesepakatan.
3.
Manasib
Mursil, yaitu washaf yang tidak disusun oleh syar’i, yang merupakan
hukum atas kesepakatan.
4.
ManasibMalgha,
yaitu
washaf yang menjelasksan bahwa dalam membina hukum, perlu dimantapkan
kemaslahatan.
Masalik
Al-Illat
Yang dimaksud
dengan masalik al illat, yaitu jalan-jalan yang akan menyampaikan kepada
ma’rifatnya, Ada tiga masalik al illat yang masyhur yaitu:
1.
Nash.
2.
Ijma’.
3.
Sabrun dan taqsim.
Dalil
5 : Istihsan
Istihsan menurut
bahasa ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah ushul,
yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli (jelas)kepada
kias khafi (yang tersembunyi).
Macam-macam Istihsan:
a.
Kias khafi itu menguatkan qias jalli.
b.
Istisna Juz-iah itu dari hukum kulli.
-
Kias
zahir, peristiwa ini dihubungkan antara yang mendakwa dan
yang membantah.
-
Kias
khafi, peristiwa ini dihubungkan kepada setiap peristiwa
yang dihadapi hakim.
-
Bentuk
kias, sisa yang dimakan oleh binatang yang haram
dagingnya itu seperti binatang buas yang menerkam binatang ternak.
-
Bentuk
istihsan, burung buas itu, haram dagingnya.
-
Contoh
bentuk kedua, syari’at melarang orang memperjual
belikan sesuatu yang tidak ada.
-
Hujahnya,
dari
definisi istihsan dan penjelasan tentang macamnya ini maka jelaslah bahwa pada
hakikatnya dia bukan menjadi sumber tasyri’ yag berdiri sendiri.
Dalil
6 : Mashlahat Mursilah
Mashlahah
mursilah, artinya muthlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemashlahatan yang tidak
disyari’atkan oleh syari’ hukum untuk ditetapkan.
Dalil yang mengemukakan hujah:
a.
Memperbaharui kemashlahatan masyarakat
dan tidak mengadakan larangan-larangan.
b.
Ketetapan tasyri’ sahabat dan tabi’in.
Syarat-syarat
untuk dujadikan hujah
a.
Mashalahah hakikat, bukan mashalahah
wahamiah (angan-angan).
b.
Ada kemashlahatan umum.
c.
Tasyri’ itu tidak boleh bagi
kemashlahatan hukum ini, atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau
ijma’.
Dalil
7 Al-Arfu
Al-arfu yaitu
apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang.
Macam-macamnya
Arfu ada dua
macam yaitu arfu yang sahih dan arfu yang fasid.
a.
Arfu sahih yaitu apa yang saling
diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari’at, tidak menghalalkan yang haram
dan tidak membatalkan yang wajib.
b.
Mahar fasid yaitu apa yang saling
dikenal orang, tapi berlainan dari syari’at, atau menghalalkan yang haram, atau
membatalkan yang wajib.
Dalil
8 : Istish-hab
Istish-hab
menurut bahasa yaitu pelajaran yang terambil dari sahabat Nabi SAW. Dan menurut
istilah ushul yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya,
sampai adanya dalil untuk mengubah keadan itu.
Hujahnya
Istish-hab itu
lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar bagi mujtahid untuk mengetahui hukum,
tentang apa yang dikemukakan kepadanya.
Dalil
9 : Syari’at dari Orang yang Sebelum Kita
Al-Qur’an dan
sunah sahih itu telah mengisahkan tentang salah satudari hukum syar’i, yang
disyari’atkan Allah kepada umaat yang telah dahulu dari kita.
Mahzab
Sahabat
Setelah Rasul
wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jamaah Sahabat. Mereka itu mengetahui
fikih ilmu pengetahuan dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perkataan sahabat.
Apa-apa yang tidak terfikir oleh ra’i dan akal, dapat dijadikan hujah.
Perbedaan pendapat itu hanya terdapat dari yang bersumber dari ra-I dan
ijtihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar