Kamis, 26 April 2012

MAKALAH PANCASILA


BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar dalam mengatur penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Era global menuntut kesiapan segenap komponen bangsa untuk mengambil peranan sehingga dampak negatif yang kemungkinan muncul, dapat segera diantisipasi. Kesetiaan, cinta tanah air dan patriotisme warga negara kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan terhadap filsafat negaranya.  Kesetiaan ini akan semakin mantap jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan keunggulan Pancasila sepanjang masa. Pancasila mempunyai peran yang sangat unggul dalam pembamgunan bangsa. Perubahan dalam pembangunan di berbagai bidang pada hakikatnya selalu didambakan dan dirindukan oleh bangsa tanah air kita. Saat ini kita memang sedang gandrung untuk membangun, tumbuh dan berubah secara progresif, namun bukan dengan harga setinggi penghancuran eksistensi kita sendiri. Kita tidak hanya ingin mengenym, tetapi juga ingin menyumbang terhadap kemenangan ilmu dan teknologi, namun bukan kemenangan semu yang secara melekat mengandung kekelahan total dilihat dari nilai-nilai insani.
Pembangunan yang sedang kita galakkan ini perlu sebuah paradigma,yaitu sebuah kerangka berfikir atau sebuah model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Pembangunan dalam perspektif pancasila adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menjadi kesepakatan yang dirumuskan oleh seluruh warga dan menjadi komitmen bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PANCASILA
1. Bagaimana terjadinya Pancasila?
Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, dan sebagai anak bangsa kita sudah mendengar, memahami dan meyakini, bahkan melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial namun rasanya sebelum tahun 1945 kita tidak pernah mendengar gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh, dan agar disepakati sebagai basic premises untuk mendirikan Negara Gagasan tersebut pertama kalinya diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang pertama Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa Soekarno yang mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Mengapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sungguh menarik, dan hanya mungkin kita jawab kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan lain perkataan, sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah gagasan nasionalisme. Juga pada saat ia mempropagandakan kesatuan antara nasionalisme-islamisme dan maxisme, ia berbicara mengenai kesatuan bangsa Indoensia, yang disemangati oleh tiga ideologi tersebut.
Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian majemuk, Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara, yaitu disebutnya sila, yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan akhirnya Peri Ketuhanan. Di dukung oleh oratory yang kuat, pemikiran Soekarno tersebut mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari anggota lainnya. Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo, memang menanyakan pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan tersebut tentang dasar negara yang segera akan dibentuk. Sejak tahun 1944 Pemerintah Kekaisaran Jepang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak awal tahun 1942 – segera diberi kemerdekaan. Secara historis, Pancasila ditawarkan sebagai konsep politik dalam rangka pembentukan negara. Dengan demikian, Pancasila lahir sebagai suatu political thought, suatu pemikiran politik.
2. Apakah sebenarnya esensi dan status Pancasila itu?
Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai suatu formula dasar nasionalisme Indonesia. Pancasila adalah nasionalisme, suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Itulah semangat yang meresapi keseluruh visi politik Ir. Soekarno, yang karena kharismanya telah mempengaruhi budaya politik Indonesia. Kelihatannya, pensifatan lain dari Pancasila akan membawa kita pada gambaran yang keliru. Mungkin perlu dipertanyakan, apakah pemikiran tentang Pancasila sudah cukup berkembang sehingga layak untuk diberi predikat sebagai filsafat politik, political philosophy, setingkat dengan filsafat politik lainnya di dunia? Jika filsafat ditandai oleh pikiran yang mendalam, kritik dan sistematis, mungkin juga masih diperlukan waktu sebelum Pancasila benar-benar berkembang menjadi suatu filsafat politik. Sebabnya adalah Ir. Soekarno belum pernah berkesempatan menuangkan pikirannya secara filsafati, walaupun setelah tahun 1945 itu Ir. Soekarno pernah dua kali mengulas lebih lanjut pemikirannya dalam kursus resmi mengenai Pancasila, dalam bagian kedua dasawarsa 1960-an. Sukar untuk dibantah, bahwa Pancasila masih sarat dengan retorika.
Dalam perkembangannya dewasa ini, mungkin lebih pas jika kita memahami sila-sila Pancasila sebagai lima aksioma politik, yang diterima sebagai dalil yang tidak memerlukan rincian penjelasan lagi. Yang masih perlu kita lakukan adalah mencari kategori pemikiran dasar yang dapat memberikan makna yang utuh kepada lima aksioma politik, sehingga kita dapat memahaminya secara utuh, bukan sebagai lima konsep yang terlepas-lepas dan tidak ada kaitannya satu sama lain. Hal ini tidaklah mudah, oleh karena Pancasila demikian rentan terhadap penafsiran sesaat. Demikianlah, pada saat dunia secara ideologis terpecah antara Kubu Barat yang kapitalis dan Kubu Timur yang komunis, Ir. Soekarno sendiri sebagai “penggali Pancasila” menjelaskan bahwa Pancasila adalah “Marxisme yang  diterapkan di Indonesia” atau Pancasila sama dengan “Nasakom”.
Namun kerentanan pemikiran Soekarno pada pengaruh situasi sesaat tersebut tidaklah mengecilkan makna sumbangannya terhadap eksistensi negara Republik Indonesia. Sumbangannya yang bersifat abadi terhadap Indonesia adalah anjurannya pada tanggal 1 Juni 1945 kepada BPUPKI untuk menerima lima sila tersebut dasar negara, kepemimpinannya dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kita ingat, bahwa walaupun anjuran pertama mengenai lima sila Pancasila adalah copyright Soekarno, namun lima sila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebuah karya kolektif. Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI yang masih tinggal di Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal 2 Juni – 9 Juli 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota Chuo Sangi In, untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh sembilan orang anggota BPUPKI. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, lima sila Pancasila tersebut telah dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan  Tugas Pemerintahan. Sungguh amt sukar untuk mencari kelamahan dari empat alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
3. Di mana terletak Kendala Pancasila sebagai Dasar Negara?
Tantangan dasar yang dihadapi Soekarno sebagai negarawan adalah bagaimana caranya ia mewujudkan paradigma politiknya itu, bukan saja untuk menerangkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari segi sosiologi dan kultur, tetapi juga untuk mengikat dan menggerakkannya secara terpadu dalam suatu sistem kenegaraan dan sistem pemerintah, dimana seluruhnya bisa merasa nyaman. Susahnya, dalam obsesi beliau mewujudkan kesatuan Indonesia, Ir. Soekarno agak mengabaikan betapa mendasarnya kemajemukan Indonesia, yang bukan saja ditempa oleh sejarah daerah yang lebih panjang, tetapi juga diresapi oleh perbedaan agama yang mempunyai ajaran yang amat berbeda satu sama lain. Bukan dalam satu agama yang sama bisa terdapat perbedaan dan mazhab yang dianut.
Selanjutnya, kendala utama yang dihadapi Pancasila sebagai dasar negara adalah adanya dikrepansi antara esensinya sebagai formula nasionalisme Indonesia, dengan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang menuangkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terkait dengan proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan terpisah oleh suatu kelompok informal, dan diluar sidang BPUPKI, di bawah kepemimpinan langsung Ir. Soekarno, seorang nasionalis dan mantan pemimpin partai, sedangkan Batang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan oleh sebuah panitia kecil BPUPKI sendiri, dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo, seorang ahli hukum adat dengan disertai tentang hukum adat Jawa Barat, yang seluruh anggaotanya mewakili keresidenan di pulau Jawa.
Sukar untuk membantah, bahwa keseluruhan proses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat diwarnai oleh kultur politik para anggota BPUPKI, yang sebagian besar berasal dari latar belakang budaya Jawa. Budaya politik Jawa, yang telah demikian mendasar diulas oleh Soemarsaid Moertono, berputar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, dilingkari oleh daerah-daerah taklukan di sekitarnya. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa Drs. Moh. Hatta – yang agak jarang dan tidak demikian suka pidato itu – demikian berkobar-kobar berbicara sewaktu beliau membela kemerdekaan berpikir dan berbicara, dan tentang hak daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Secara implisit dan eksplisit, sebagai seorang yang berasal dari masyarakat yang mempunyai budaya politik yang bersifat egalitarian, layak ia merasa amat risau dengan kecenderungan sentralistik dan otoritarian yang terkandung dalam budaya politik Jawa itu.
Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, yang pernah mengadvokasikan konsep democrative met leiderschap, Soekarno sendiri tidaklah terlalu risau dengan masalah itu. Ia sendiri kemudian bahkan mengajukan dan mempraktekkan konsep demokrasi terpimpin. Secara kultural ia memang cukup familier dan nyaman dengan konsep politik itu, dan dapat merasa asing dengan kultur politik egalitarian, dimana semua orang duduk sama rendah tegak sama tinggi. Disinilah terletak kendala utama Pancasila. Konsep nasionalisme yang pada dasarnya merupakan konsep modern, dan secara teoretikal mampu menampung pluralis masyarakat Indonesia, diberi wadah konstitusional yang hanya cocok dengan budaya politik suatu daerah, dalam hal ini budaya politik Jawa. Mungkin itulah sebabnya mengapa sejarah politik nasional Indonesia berayun-ayun antara format negara kesatuan dengan negara federal, antara pemerintahan yang sangat sentralistik dengan tekanan untuk mendesentralisasikan kekuasaan dan sumber daya, hubungan yang tidak pernah stabil antara pusat dan daerah, antara keinginan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dan keharusan untuk melancarkan rangkaian operasi militer ke daerah-daerah yang resah, antara konsep Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional yang dirumuskan dalam tahun 1965, dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang diresmikan dalam tahun 1951, antara keinginan membangun suatu Indonesia yang modern, dengan dambaan untuk memelihara dan melestarikan warisan nenek moyang.
4. Dua Tantangan Pancasila
a. Tantangan Konseptual
Pertama Pancasila adalah memahami dan merumuskan secara jernih – serta disepakati bersama dengan sungguh-sungguh tentang kandungan nilai dan makna Pancasila, baik masing-masing sila maupun Pancasila sebagai suatu kebulatan ide.
b. Tantangan Kelembagaan
Jika kita sudah mempunyai kesamaan visi dan faham mengenai sila-sila tersebut diatas, bagaimana menuangkannya ke dalam sistem politik dan sistem kenegaraan kita ? Ringkasnya, dimensi kelembagaan Pancasila perlu memberikan jawaban terhadap kebutuhan kita memperoleh efek sinergi sebesar-besarnya dari persatuan dan kita sebagai bangsa,  sambil menekan sekecil-kecilnya dampak negatif yang bisa terjadi pada demikian besarnya akumulasi sumber daya nasional di tangan mereka yang sedang  memegang tampuk kekuasaan pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat daerah.
5. Pembangunan Bangsa dan Negara sebagai Konteks Pembangunan bidang Sosial Politik.
Bagaimanapun, Republik Indonesia memang adalah sebuah negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa baru, yang baru bangkit pada awal abad ke 20, setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda dalam rangka Ethische Politiek. Kelompok kecil kaum muda terpelajar inilah yang pertama kali menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami rangkaian kepulauan ”Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa. Mereka diikat oleh pengalaman sejarah yang sama. Dengan keyakinan itulah mereka mendirikan berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian menjadi semakin radikal. Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat elitis, kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat dikatakan bahwa sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut pola top-down. Susahnya, jangkauan kharisma pribadi seorang tokoh dibatasi oleh lingkungan kultural asalnya, dan seperti diingatkan Max Weber – kharisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang itu tidak memberikan manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma akan segera merosot, bahkan lenyap. Hal itu terlihat jelas pada pengalaman Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kamampuan retorikanya tidaklah berkurang sampai  saat-saat terakhir. Namun keadaan ekonomi yang tidak pernah membaik di bawah pemerintahannya, ditambah dengan suasana ketidakpastian suasana revolusioner yang dikobarkannya  sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan. Tiga tuntutan itu adalah : turunkan harga, bubarkan kabinet 100 menteri, dan bubarkan PKI.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial.
B.     PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.       Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga.
b.      Sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial.
c.       Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan. Paradigma adalah cara pandang nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan suatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat pada masa tertentu. Oleh karena itu Pancasila dijadikan paradigma dalam melaksanakan pembangunan nasional, yaitu sebagai landasan, acuan, metodde, nilai dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
C.       PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL
Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. Ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat.
Orang yang pertama kali menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn, sedangkan arti dari pardigma adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak memiliki arti yang sempit hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan dan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang alinea ke-IV telah tercantum tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya membangun Indonesia seutuhnya itulah diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional bidang sosial dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya membangun masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila ketiga dari pancasila, yaitu persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti bahwa untuk mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Hal itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan wilayah negaranya.
D.    PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN POLITIK
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Ada perkembangan baru yang menarik berhubung dengan dasar negara kita. Dengan kelima prinsipnya pancasila memang menjadi dasar yang cukup integratif bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen dala sejarah Indonesia modern.
Untuk mengatasi permasalahan di bidang politik, tidak ada jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sisten politik yang benar-benar demokratis. Demokratisasi merupakan upaya penting dalam mewujudkan civil society. Tanpa proses demokratisasi tidak akan tercipta civil society. Suatu masyarakat menjadi demokratik bukan karena memiliki institusi-intitusi tertentu seperti lembaga perwakilan dan adanya pemilihan umum. Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti demokratik. Ada sedikitnya empat nilai demokratik. Pertama, kedaulatan rakyat yang berarti masyarakat diatur oleh keputusan atau hukum yang ditentukan oleh masyarakat sendiri baik langsung atau melalui perwakilan. Nilai demokratik kedua adalah partisipasi. Partisipasi politik berarti masyarakat sendiri yang menentukan dan mengendalikan keputusan politik yang mempengaruhi dirinya. Partisipasi politik perlu bagi perwujudan kebebasan warga negara. Nilai ketiga dari deemokrasi adalah akuntabilitas. Dalam masyarakat demokrasi harus ada mekanisme bagaimana pemerintah atau pemegang kekuasaan dapat diawasi dan dikendalikan oleh rakyat. Nilai keempat dari demokrasi adalah komitmen pasa persamaan. Warga masyarakat memiliki hak yang sama dalam memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan.
E.     PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi sukubangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga). Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan-kebudayaan di daerah:
1)      Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2)      Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya.
3)       Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat.
4)      Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan.
5)      Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.




BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
          Dari pembahasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa esensi Pancasila itu adalah  sebagai suatu formula dasar nasionalisme Indonesia. Yang mana Pancasila itu adalah nasionalisme, yakni suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Kemudian terkait dengan paradigma pembangunan budaya, maka itu semua sudah tertuang dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradap.
          Dan nilai-nilai pancasila adalah dasar dalam sebuah paradigma pembangunan yang diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek kebutuhan.
III.3 Saran
Adapun saran yang bisa kami paparkan dari makalah ini yaitu sebaiknya kita lebih mempelajari dan memahami pancasila lebih dalam lagi agar kita tidak menyimpang dari nilai-nilai pancasila yang merupakan asas Indonesia dan kita tidak lari dari subtansi ideologi pancasila.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar