BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar
dalam mengatur penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Era global menuntut kesiapan
segenap komponen bangsa untuk mengambil peranan sehingga dampak negatif yang
kemungkinan muncul, dapat segera diantisipasi. Kesetiaan, cinta tanah air dan
patriotisme warga negara kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk
kesetiaan terhadap filsafat negaranya. Kesetiaan ini akan semakin mantap
jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan keunggulan Pancasila
sepanjang masa. Pancasila mempunyai peran yang sangat unggul dalam pembamgunan
bangsa. Perubahan dalam pembangunan di berbagai bidang pada hakikatnya selalu
didambakan dan dirindukan oleh bangsa tanah air kita. Saat ini kita memang
sedang gandrung untuk membangun, tumbuh dan berubah secara progresif, namun
bukan dengan harga setinggi penghancuran eksistensi kita sendiri. Kita tidak
hanya ingin mengenym, tetapi juga ingin menyumbang terhadap kemenangan ilmu dan
teknologi, namun bukan kemenangan semu yang secara melekat mengandung kekelahan
total dilihat dari nilai-nilai insani.
Pembangunan yang sedang kita galakkan ini perlu
sebuah paradigma,yaitu sebuah kerangka berfikir atau sebuah model mengenai
bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Pembangunan dalam perspektif
pancasila adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menjadi
kesepakatan yang dirumuskan oleh seluruh warga dan menjadi komitmen bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PANCASILA
1. Bagaimana
terjadinya Pancasila?
Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga
masyarakat, dan sebagai anak bangsa kita sudah mendengar, memahami dan
meyakini, bahkan melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial namun rasanya sebelum tahun 1945 kita
tidak pernah mendengar gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai
suatu kesatuan yang utuh, dan agar disepakati sebagai basic premises
untuk mendirikan Negara Gagasan tersebut pertama kalinya diajukan oleh Ir.
Soekarno dalam pidatonya pada sidang pertama Badan Penyidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa Soekarno yang
mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Mengapa bukan tokoh lain?
Pertanyaan ini sungguh menarik, dan hanya mungkin kita jawab kita mendalami
riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin,
bahwa bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu
dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan lain perkataan,
sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah gagasan nasionalisme.
Juga pada saat ia mempropagandakan kesatuan antara nasionalisme-islamisme dan
maxisme, ia berbicara mengenai kesatuan bangsa Indoensia, yang disemangati oleh
tiga ideologi tersebut.
Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan
suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian
majemuk, Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara, yaitu disebutnya sila,
yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan
akhirnya Peri Ketuhanan. Di dukung oleh oratory yang kuat, pemikiran
Soekarno tersebut mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari anggota lainnya.
Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang pernah menjadi Ketua Boedi
Oetomo, memang menanyakan pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan
tersebut tentang dasar negara yang segera akan dibentuk. Sejak tahun 1944
Pemerintah Kekaisaran Jepang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang
didudukinya sejak awal tahun 1942 – segera diberi kemerdekaan. Secara historis,
Pancasila ditawarkan sebagai konsep politik dalam rangka pembentukan negara.
Dengan demikian, Pancasila lahir sebagai suatu political thought,
suatu pemikiran politik.
2. Apakah sebenarnya esensi dan status Pancasila itu?
Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu
keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai suatu formula
dasar nasionalisme Indonesia. Pancasila adalah nasionalisme, suatu faham
yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan
bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama
ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Itulah semangat yang meresapi keseluruh
visi politik Ir. Soekarno, yang karena kharismanya telah mempengaruhi budaya
politik Indonesia. Kelihatannya, pensifatan lain dari Pancasila akan membawa
kita pada gambaran yang keliru. Mungkin perlu dipertanyakan, apakah pemikiran
tentang Pancasila sudah cukup berkembang sehingga layak untuk diberi predikat
sebagai filsafat politik, political philosophy, setingkat dengan filsafat
politik lainnya di dunia? Jika filsafat ditandai oleh pikiran yang mendalam,
kritik dan sistematis, mungkin juga masih diperlukan waktu sebelum Pancasila
benar-benar berkembang menjadi suatu filsafat politik. Sebabnya adalah Ir.
Soekarno belum pernah berkesempatan menuangkan pikirannya secara filsafati,
walaupun setelah tahun 1945 itu Ir. Soekarno pernah dua kali mengulas lebih
lanjut pemikirannya dalam kursus resmi mengenai Pancasila, dalam bagian kedua
dasawarsa 1960-an. Sukar untuk dibantah, bahwa Pancasila masih sarat dengan
retorika.
Dalam perkembangannya dewasa ini, mungkin lebih pas jika
kita memahami sila-sila Pancasila sebagai lima aksioma politik, yang
diterima sebagai dalil yang tidak memerlukan rincian penjelasan lagi. Yang
masih perlu kita lakukan adalah mencari kategori pemikiran dasar yang dapat
memberikan makna yang utuh kepada lima aksioma politik, sehingga kita dapat
memahaminya secara utuh, bukan sebagai lima konsep yang terlepas-lepas dan
tidak ada kaitannya satu sama lain. Hal ini tidaklah mudah, oleh karena
Pancasila demikian rentan terhadap penafsiran sesaat. Demikianlah, pada saat
dunia secara ideologis terpecah antara Kubu Barat yang kapitalis dan Kubu Timur
yang komunis, Ir. Soekarno sendiri sebagai “penggali Pancasila” menjelaskan
bahwa Pancasila adalah “Marxisme yang diterapkan di Indonesia” atau
Pancasila sama dengan “Nasakom”.
Namun kerentanan pemikiran Soekarno pada
pengaruh situasi sesaat tersebut tidaklah mengecilkan makna sumbangannya
terhadap eksistensi negara Republik Indonesia. Sumbangannya yang bersifat abadi
terhadap Indonesia adalah anjurannya pada tanggal 1 Juni 1945 kepada BPUPKI
untuk menerima lima sila tersebut dasar negara, kepemimpinannya dalam
merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan yang
dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kita ingat, bahwa walaupun
anjuran pertama mengenai lima sila Pancasila adalah copyright
Soekarno, namun lima sila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
sebuah karya kolektif. Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh
38 orang anggota BPUPKI yang masih tinggal di Jakarta pada saat reses BPUPKI
antara tanggal 2 Juni – 9 Juli 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota
Chuo Sangi In, untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh sembilan orang
anggota BPUPKI. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, lima
sila Pancasila tersebut telah dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan
Tugas Pemerintahan. Sungguh amt sukar untuk mencari kelamahan dari empat alinea
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
3. Di mana
terletak Kendala Pancasila sebagai Dasar Negara?
Tantangan dasar yang dihadapi Soekarno sebagai negarawan
adalah bagaimana caranya ia mewujudkan paradigma politiknya itu, bukan saja
untuk menerangkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari segi sosiologi
dan kultur, tetapi juga untuk mengikat dan menggerakkannya secara terpadu
dalam suatu sistem kenegaraan dan sistem pemerintah, dimana seluruhnya
bisa merasa nyaman. Susahnya, dalam obsesi beliau mewujudkan kesatuan
Indonesia, Ir. Soekarno agak mengabaikan betapa mendasarnya kemajemukan
Indonesia, yang bukan saja ditempa oleh sejarah daerah yang lebih panjang,
tetapi juga diresapi oleh perbedaan agama yang mempunyai ajaran yang amat
berbeda satu sama lain. Bukan dalam satu agama yang sama bisa terdapat
perbedaan dan mazhab yang dianut.
Selanjutnya, kendala utama yang dihadapi Pancasila sebagai
dasar negara adalah adanya dikrepansi antara esensinya sebagai formula
nasionalisme Indonesia, dengan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang
menuangkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal
ini terkait dengan proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu
sendiri. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan terpisah oleh suatu kelompok informal, dan diluar sidang BPUPKI, di
bawah kepemimpinan langsung Ir. Soekarno, seorang nasionalis dan mantan
pemimpin partai, sedangkan Batang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan oleh sebuah panitia kecil BPUPKI sendiri, dipimpin oleh Prof. Dr.
Mr. Soepomo, seorang ahli hukum adat dengan disertai tentang hukum adat Jawa
Barat, yang seluruh anggaotanya mewakili keresidenan di pulau Jawa.
Sukar untuk membantah, bahwa keseluruhan proses pembahasan
Undang-Undang Dasar 1945 sangat diwarnai oleh kultur politik para anggota
BPUPKI, yang sebagian besar berasal dari latar belakang budaya Jawa. Budaya
politik Jawa, yang telah demikian mendasar diulas oleh Soemarsaid Moertono,
berputar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, dilingkari oleh
daerah-daerah taklukan di sekitarnya. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa
Drs. Moh. Hatta – yang agak jarang dan tidak demikian suka pidato itu –
demikian berkobar-kobar berbicara sewaktu beliau membela kemerdekaan berpikir
dan berbicara, dan tentang hak daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya
sendiri. Secara implisit dan eksplisit, sebagai seorang yang berasal dari
masyarakat yang mempunyai budaya politik yang bersifat egalitarian, layak ia
merasa amat risau dengan kecenderungan sentralistik dan otoritarian yang
terkandung dalam budaya politik Jawa itu.
Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, yang pernah
mengadvokasikan konsep democrative met leiderschap, Soekarno sendiri
tidaklah terlalu risau dengan masalah itu. Ia sendiri kemudian bahkan
mengajukan dan mempraktekkan konsep demokrasi terpimpin. Secara kultural ia
memang cukup familier dan nyaman dengan konsep politik itu, dan dapat merasa
asing dengan kultur politik egalitarian, dimana semua orang duduk sama
rendah tegak sama tinggi. Disinilah terletak kendala utama Pancasila.
Konsep nasionalisme yang pada dasarnya merupakan konsep modern, dan secara
teoretikal mampu menampung pluralis masyarakat Indonesia, diberi wadah
konstitusional yang hanya cocok dengan budaya politik suatu daerah, dalam hal
ini budaya politik Jawa. Mungkin itulah sebabnya mengapa sejarah politik
nasional Indonesia berayun-ayun antara format negara kesatuan dengan negara
federal, antara pemerintahan yang sangat sentralistik dengan tekanan untuk
mendesentralisasikan kekuasaan dan sumber daya, hubungan yang tidak pernah
stabil antara pusat dan daerah, antara keinginan untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur dan keharusan untuk melancarkan rangkaian operasi militer ke
daerah-daerah yang resah, antara konsep Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional yang dirumuskan dalam tahun 1965, dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika
yang diresmikan dalam tahun 1951, antara keinginan membangun suatu Indonesia
yang modern, dengan dambaan untuk memelihara dan melestarikan warisan nenek
moyang.
4. Dua Tantangan Pancasila
a. Tantangan Konseptual
Pertama Pancasila adalah memahami dan merumuskan secara
jernih – serta disepakati bersama dengan sungguh-sungguh tentang kandungan
nilai dan makna Pancasila, baik masing-masing sila maupun Pancasila sebagai
suatu kebulatan ide.
b. Tantangan Kelembagaan
Jika kita sudah mempunyai kesamaan visi dan faham
mengenai sila-sila tersebut diatas, bagaimana menuangkannya ke dalam
sistem politik dan sistem kenegaraan kita ? Ringkasnya,
dimensi kelembagaan Pancasila perlu memberikan jawaban terhadap kebutuhan kita
memperoleh efek sinergi sebesar-besarnya dari persatuan dan kita sebagai
bangsa, sambil menekan sekecil-kecilnya dampak negatif yang bisa terjadi
pada demikian besarnya akumulasi sumber daya nasional di tangan mereka yang
sedang memegang tampuk kekuasaan pemerintah, baik di tingkat pemerintah
pusat maupun di tingkat daerah.
5. Pembangunan Bangsa dan Negara sebagai Konteks Pembangunan bidang
Sosial Politik.
Bagaimanapun, Republik Indonesia memang adalah sebuah
negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa baru, yang baru bangkit
pada awal abad ke 20, setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan
sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda dalam rangka Ethische
Politiek. Kelompok kecil kaum muda terpelajar inilah yang pertama kali
menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami rangkaian kepulauan
”Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa. Mereka diikat oleh
pengalaman sejarah yang sama. Dengan keyakinan itulah mereka mendirikan
berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian menjadi
semakin radikal. Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat elitis,
kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat dikatakan bahwa
sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut pola top-down.
Susahnya, jangkauan kharisma pribadi seorang tokoh dibatasi oleh
lingkungan kultural asalnya, dan seperti diingatkan Max Weber –
kharisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang itu tidak memberikan
manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma akan segera
merosot, bahkan lenyap. Hal itu terlihat jelas pada pengalaman
Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kamampuan retorikanya tidaklah
berkurang sampai saat-saat terakhir. Namun keadaan ekonomi yang tidak
pernah membaik di bawah pemerintahannya, ditambah dengan suasana ketidakpastian
suasana revolusioner yang dikobarkannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian demonstrasi pelajar dan
mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan. Tiga tuntutan itu adalah : turunkan
harga, bubarkan kabinet 100 menteri, dan bubarkan PKI.
Di era globalisasi informasi
seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam
pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat
tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial,
dan masyarakat purna industrial.
B.
PENGERTIAN PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar
pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap
aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan
objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara
merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan
apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara
termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar
hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis.
Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.
Susunan kodrat manusia terdiri
atas jiwa dan raga.
b.
Sifat kodrat manusia sebagai
individu sekaligus sosial.
c.
Kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai
upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa,
raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional
sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan
martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan
di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan,
meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya,
dan pertahanan keamanan.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang
filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali
mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu
didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan
apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam
menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam
mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang,
kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma
tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan
tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah
dalam ilmu pengetahuan. Paradigma adalah cara pandang nilai-nilai,
metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan suatu masalah yang dianut
oleh suatu masyarakat pada masa tertentu. Oleh karena itu Pancasila dijadikan
paradigma dalam melaksanakan pembangunan nasional, yaitu sebagai landasan,
acuan, metodde, nilai dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya
di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik,
hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian
sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok
ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu
itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan
dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan
penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
C. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL
Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi
yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. Ketika gerakan reformasi melanda
Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru
banyak mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin
menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan
sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak
mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat.
Orang yang pertama kali
menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn, sedangkan arti dari pardigma
adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak memiliki arti yang sempit
hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas
yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan
paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan
dan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus
mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang
alinea ke-IV telah tercantum tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencapai masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya
membangun Indonesia seutuhnya itulah diperlukan penerapan dari nilai-nilai
pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional bidang sosial
dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila
bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sesuai
dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya
membangun masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem
nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila
ketiga dari pancasila, yaitu persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya
dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya yang
beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai
bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan
kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa
dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai
paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti
bahwa untuk mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari
nilai-nilai pancasila. Hal itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan
untuk melindungi segenap bangsa dan wilayah negaranya.
D. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN POLITIK
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan
sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila
bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari
manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat.
Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik
Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik
demokrasi bukan otoriter
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus
dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya
adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Ada perkembangan baru yang menarik berhubung dengan dasar
negara kita. Dengan kelima prinsipnya pancasila memang menjadi dasar yang cukup
integratif bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen dala sejarah
Indonesia modern.
Untuk mengatasi permasalahan di bidang politik, tidak ada
jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sisten politik yang
benar-benar demokratis. Demokratisasi merupakan upaya penting dalam mewujudkan
civil society. Tanpa proses demokratisasi tidak akan tercipta civil society.
Suatu masyarakat menjadi demokratik bukan karena memiliki institusi-intitusi tertentu
seperti lembaga perwakilan dan adanya pemilihan umum. Masyarakat menjadi
demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti demokratik. Ada sedikitnya empat
nilai demokratik. Pertama, kedaulatan rakyat yang berarti masyarakat diatur
oleh keputusan atau hukum yang ditentukan oleh masyarakat sendiri baik langsung
atau melalui perwakilan. Nilai demokratik kedua adalah partisipasi. Partisipasi
politik berarti masyarakat sendiri yang menentukan dan mengendalikan keputusan
politik yang mempengaruhi dirinya. Partisipasi politik perlu bagi perwujudan
kebebasan warga negara. Nilai ketiga dari deemokrasi adalah akuntabilitas.
Dalam masyarakat demokrasi harus ada mekanisme bagaimana pemerintah atau
pemegang kekuasaan dapat diawasi dan dikendalikan oleh rakyat. Nilai keempat
dari demokrasi adalah komitmen pasa persamaan. Warga masyarakat memiliki hak
yang sama dalam memberikan kontribusi bagi pengambilan keputusan.
E. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang
pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal
ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan
sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan
bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan
beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu
meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya
dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial
budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan
budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap
budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan
sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam
pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam
perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak
budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak
budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara
dan hak asasi individu.
Dengan demikian, era otonomi
daerah tidak akan mengarah pada otonomi sukubangsa tetapi justru akan memadukan
pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional
(Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila
Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup
menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga). Apabila
dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi
kebudayaan-kebudayaan di daerah:
1)
Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
2)
Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya.
3)
Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya
yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk
mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat.
4)
Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini
sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan
kepentingan perorangan.
5)
Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat penulis simpulkan
bahwa esensi Pancasila itu adalah sebagai suatu formula dasar nasionalisme
Indonesia. Yang mana Pancasila itu adalah nasionalisme, yakni suatu faham
yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan
bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama
ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Kemudian terkait dengan paradigma
pembangunan budaya, maka itu semua sudah tertuang dalam sila kemanusiaan yang
adil dan beradap.
Dan nilai-nilai pancasila adalah dasar
dalam sebuah paradigma pembangunan yang diarahkan untuk meningkatkan harkat
dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek
kebutuhan.
III.3 Saran
Adapun saran
yang bisa kami paparkan dari makalah ini yaitu sebaiknya kita lebih mempelajari
dan memahami pancasila lebih dalam lagi agar kita tidak menyimpang dari nilai-nilai
pancasila yang merupakan asas Indonesia dan kita tidak lari dari subtansi
ideologi pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar