Jumat, 27 April 2012

Makalah Filsafat Plato



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Filsafat yang konon merupakan ibu dari semua ilmu pengetahuan adalah interpretasi dari para filosof. Sebagai konsekwensi dari banyaknya filosof, terdapat beberapa sudut pandang dan aliran-aliran yang berbeda-beda dalam filsafat. Di dalam makalah ini, akan diterangkan sekilas tentang para filosofpada zaman klasik, yang meliputi latar belakang kehidupan, sumber filsafat, dan bagaimana pemikiran-pemikiran mereka yang berkaitan dengan filsafat.
Beberapa tentang kelahiran dan perkembangan Filsafat pada awal kelahiranya tidak  dapat di pisahkan dengan perkembangan (Ilmu) pengetahuan yang munculnya pada masa peradaban kuno (masa yunani) makna kata Filsafat sendiri adalah cinta Keahrifan, arti kata tersebut belum memperhatikan makna kata yang sebenarnya dari kata Filsafat, sebab pengertian “mencintai” belum memperlihatkan keaktifan seorang Filosof untuk memperoleh Kearifan.


B.                 Rumusan masalah

1.      Bagaimana pendapat plato dalam konteks filsafatnya ?
2.      Apa yang menjadi obyek dari filsafat plato dan aristoteles?
3.      Bagaimana interpretasinya mengenai ide-ide atau pemahamannya?

C.                Tujuan

Dengan terselesaikannya makalah ini, diharapkan kita dapat mengerti dan memahami pola pikir, pemikiran, dan sumber filsafat para filosof pada zaman klasik, yaitu di masa Plato dan Aristoteles. 



BAB II

FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES


A.    Plato (427-347 SM)

1.       Latar Belakang

Plato adalah salah satu murid dari Socrates yang taat di antara pengikutnya yang pintar dan mempunyai pengaruh yang amat besar. Plato  lahir di Athena pada tahun 427 SM. Ayahnya bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus, raja terakhir Athena, yang sangat dikagumi dan dicintai rakyat karena kecakapan dan kebijaksanaannya memerintah pada masa itu. Ibunya bernama Periktione keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung Athena. Nama plato yang sebenarnya adalah Aristocles. Karena dahi dan bahunya yang amat lebar dia memperoleh julukan “Plato” dari seorang pelatih senamnya. Plato dalam bahasa Yunani berasal dari kata “Platos” yang berarti “kelebaran”. Dengan demikian, nama Plato berarti “si lebar”.
Sejak kanak-kanak ia telah mengenal Socrates yang akhirnya menjadi gurunya selama 8 tahun. Pada usia 40 tahun, ia berkunjung ke Italia dan Sicilia untuk belajar ajarannya Pythagoras. Sekembalinya dari sana, ia mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Akademia. Ia memberikan pengajaran secara baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, utamanya bagi orang-orang yang ingin menjadi politikus.[1]

2.       Sumber Filsafat Plato

 Guru filsafat  yang amat dikagumi, dihormati, dan dicintai Plato ialah Socrates. Bagi Plato, Socrates adalah guru sekaligus sahabat. Karena itu, tak heran jika hampir seluruh karya filsafat Plato menggunakan “metode sokratik”, yaitu metode yang dikembangkan oleh Socrates yang dikenal dengan nama metode dialektis. Metode tersebut terwujud dalam suatu bentuk “ tanya jawab” atau dialog sebagai suatu upaya untuk meraih kebenaran dan pengetahuan. Dari Socrateslah Plato mengenal nilai-nilai kesusilaan yang menjadi norma-norma dalam diri dan kehidupan manusia dan etika saja lewat filsafat, kemudian digunakannya untuk mengetahui segala sesuatu dan menetapkan hakikat dari segala sesuatu itu.

3.       Dunia Ide

Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ajaran tentang “Dunia Ide”. Ia mengajarkan bahwa dunia yang kelihatan hanyalah merupakan bayangan dari dunia yang asli, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia berasal dari dunia ide yang terkurung di dalam tubuh, yang pada ujungnya keterasingan ini menimbulkan rasa rindu untuk kembali ke “Surga Ide-Ide”[2]. Pemikiran Plato inilah yang pada akhirnya dapat menjembatani permasalahan lama: mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Pengetahuan yang diperoleh lewat indera, disebutnya pengetahuan indera atau pengalaman, sedangkan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal. Pengetahuan indera bersifat tidak tetap dan berubah-ubah, sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.

Sebagai penyelesaian atas persoalan yang dihadapi Plato tersebut, ia menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam, dan berubah-ubah; dan dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide. Sedangkan dunia ide sendiri merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas. Dengan demikian, dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide.

Plato mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran Heracleitos itu benar, tapi hanya berlaku pada dunia pengalaman. Demikianpula, pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal. Plato dengan ajaran ide ini, berada di alam ide, bukan hasil abstraksi seperti pada Socrates. Ide itu umum, berarti berlaku untuk umum juga. Selain kebenaran umum, Plato juga berpendapat bahwa ada kebenaran yang khusus, yaitu kongkretisasi ide di alam ini.[3]

Pemikiran Plato terkait dengan Tuhan, ia mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahuinya, yaitu[4] :
a.       Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
c.       Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak, dan lain-lain.
d.      Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Adapun dalam kefilsafatan, Plato membedakan filsafat atas tiga bagian sebagai berikut[5]:
a.       Dilektika               : Tentang ide-ide atau pengertian-pengertian umum
b.      Fisika                     : Tentang dunia materiil
c.       Etika                     : Tentang kebaikan

B.     Aristoteles (384-322 SM)

1.      Latar Belakang
Aristoteles dilahirkan di Stegeira, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang dokter  pribadi di kerajaan Macedonia Amyntas. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar di sekolah Akademia milik Plato selama 20 tahun hingga Plato meninggal. Beberapa lama kemudian, ia menjadi pengajar di Akademia Plato untuk mengajar ilmu logika dan retorika[6]. Selain itu, ia juga tercatat sebagai tutor (guru) Alexander, putra dari Philip, seorang jenderal besar di Masedonia. Alexander mendapat pengaruh yang banyak dari gurunya, tidak hanya ide dan rencananya, akan tetapi juga pola pemikirannya.

2.     Realisme Aristoteles

Kecenderungan berfikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Jika dibandingkan dengan Plato yang pandangan filsafatnya bersifat abstrak dan idealisme, maka orientasi yang di kemukakan Aristoteles lebih pada hal-hal yang kongkret (empiris).[7]
Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan menjadi, ia menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya, yang semua itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut sebagai realisme.
Meskipun 20 tahun menjadi Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang dunia ide. Menurutnya tidak ada ide-ide yang abadi. Pemahaman Plato tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang ide-ide merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu menerima alam ide-ide abadi. Aristoteles menjelaskannya dengan  kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual.
Tidak hanya itu, Aristoteles juga menolak paham Plato tentang ide yang baik dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan ide yang baik tersebut. Ia beranggapan bahwa paham yang baik itu sedikitpun tidak membantu seseorang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik. Apa yang membuat hidup manusia bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri.[8]

D.    Filsafat yunani klasik

Pada periode yunani klasik perkembangan filsafat menunjukan kepastian, yaitu ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Zaman klasik bermula dengan Socrates, tetapi Socrates belum sampai kepada sesuatu sistim filosofi, yang memberikan nama klasik kepada filosofi itu. Sistem ajaran filosofi klasik baru dibangun oleh plato dan aristoteles, berdasaran ajaran Socrates tentang pengetahuan dan etik beserta folosofi alam yang berkembang sebelum Socrates.
Plato mencapai titik persatuan dalam Filosofi grik yang selama itu menyatakan perbadaan pandangan. Dengan itu terdapat, untuk pertama kali dalam sejarah dunia barat, suatu sistem pandangan yang menyuluhi keseluruhannya dari satu pokok. Aristoteles meneruskan pokok pengertian Plato dan membangun suatu system Filosofi yang di dalamnya terdapat tempat tersendiri bagi berbagai ilmu spesial. Buah pikiran dalam sistem pengetahuan Plato dan Aristoteles menguasai alam pikiran orang barat sampai kira-kira dua ribu tahun lamanya. Itulah yang membarikan nama
klasik kepada Filosofi mereka.
E.     Etik Sokrates, Plato dan Aristoteles
Budi ialah tahu, kata Sokrates inilah intisari daripada Etikanya. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etikanya itulah kelanjutan
daripada metode Sokrates.
Ajaran Etik Sokrates intelektual sifatnya, selain dari itu juga rasional. Menurut Sokrates, Manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan selaga barang yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup Manusia. Keadaan dan tujuan Manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya. Dari pandangan Etik yang rasioal itu Sokrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Dalam segi pandangan Sokrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukkan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia sekarang Filosof yang utama seluruh masa.
Seperti juga Sokrates etika Plato bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya ialah mencapai budi baik. Pendapat Plato seterusnya tentang etik bersendi
pada ajarannya tentang idea. Menurut Plato, ada dua macam budi :
1. Budi Filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian.
2. Budi yang biasa terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang di pakai tidak terbit dari keyakinan, melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak.
Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etik yaitu:
1. melarikan diri dalam pikiran dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata
dalam dunia idea.
2. mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini.
Kedua-dua jalan itu di empuh oleh Plato.
Tujuh etik Plato bersatu kembali pada bidang Agama, yang menekankan bahwa budi adalah tujuan untuk melaksanakan idea keadilan dalam penghidupan seseorang dalam Negara sebagai badan kolektif.
Etik Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etik Sokrates dan Plato. Tujuannya mencapai Eudaemunic, kebahagiaan sebagai “Barang yang tertinggi” dalam penghidupan. Tetapi ia memahamkannya secara realis dan sederhana. Ia tidak bertanya tentang budi dan berlakunya seperti yang di kemukakan Sokrates. Ia tidak pulang menuju pengetahuan tentang idea yang di tegaskan oleh Plato. Ia menuju kepada kebaikan yang tercapai oleh Manusia yang sesuai dengan jenisnya laki-laki atau perempuan, derajatnya, kedudukannya atau pekerjaannya. Tugas daripda etik ialah mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Budipikiran, seperti kebijaksanaan, kecerdasan dan pendapat yang sehat lebih diutamakan oleh Aristoteles dari budi perengai, seperti keberanian, kesederhanaan dan lain-lainnya. Keadilan dan persahabatan, menurut Aristoteles adalah Budi yang menjadi dasar hidup bersama dalam keluarga dan Negara.


BAB III
PENUTUP

A.    Analisis

ajaran dari Plato dan Aristoteles tentang rasio yang menyatakan adanya dualisme dalam diri manusia. Menurut Plato, bahwa dalam diri manusia terdapat dua “dunia”, yaitu dunia ide dan dunia panca indra, sedangkan Aristoteles yang merupakan murid dari Plato juga mengatakan adanya dualisme dalam diri manusia. Perbedaannya, dualisme itu bukan berupa dunia ide dan dunia panca indra, tetapi lebih luas lagi yaitu berupa bentuk dan materi. Teori bentuk dan materi ini juga dapat berlaku untuk benda apapun selain manusia, yang mana mempunyai materi (bahan dasar) dan bentuk (wujud hasil). Ia juga mengkritik pendapat Plato tentang ide. Jika berbicara tentang ide, maka saat itu pula sedang berbicara tentang manusia. Jika berbicara tentang manusia, Aristoteles tidak spesifik mengarah pada ide (yang berbeda-beda), tetapi secara kongkrit membedakan antara manusia dengan manusia yang lain (seutuhnya). Dalam arti, dia tidak menafikan dunia ide, hanya saja ide itu sudah bersemayam dalam tiap (jiwa) manusia yang berada dalam bentuk masing-masing (wujud manusia).
Dengan melihat kedua paradigma diatas, bisa dinilai bahwa keduanya itu benar menurut rasio, karena bisa diterima oleh nalar. Dan keduanya tetap berada dalam kebenaran rasio walaupun seandainya al-Qur’an tidak diturunkan. Tetapi kemudian islam –melalui para pemikirnya- turut membenarkan teori dualisme diatas, yang kemudian dipakai untuk metode relasi horisontal antar sesama manusia dan alam, dan vertikal antara manusia dan Tuhan.
Sebagai salah satu contoh adalah pemikiran al-Ghazali. Ia adalah tokoh yang berupaya mendamaikan antara teori filsafat, tasawuf, dan syari’at. Terlihat dari ungkapan dalam kitabnya yang masyhur, Ihya ‘Ulum al-Din;
“…akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang yang mendukung taqlid tanpa memakai ilmu pengetahuan intelektual, adalah orang yang bodoh. Dan orang yang puas hanya dengan ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya dari al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang sombong”
Menurut al-Ghazali, wahyu dan akal itu saling membutuhkan. Dan kebenaran agamawi dapat diperoleh dengan korelasi antara keduanya. Karena itulah fungsi akal yang dimiliki manusia. Maka akal mempunyai peran penting untuk mencari sebuah kebenaran. Ini pulalah maksud dari para filsuf barat manganai kebenaran yang juga mereka bidik sejak dahulu, sebagai pembuktian bahwa setiap unsur itu mempunyai makna yang dapat dimengerti oleh akal budi.


B.      KESIMPULAN

Filsafat-filsafat Plato pada awalnya bersumber dari gurunya Socrates, begitu juga metode yang digunakannya sama dengan metode yang dipakai Socrates, yaitu metode dialektik. Akan tetapi ajaran dan pemikiran Plato amat berbeda dengan Socrates. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya semua realitas yang terjadi pada dasarnya sudah ada dalam dunia ide. Jiwa manusia berasal dari dunia ide yang terkurung di dalam tubuh, yang pada ujungnya keterasingan itu menimbulkan rasa rindu untuk kembali ke surga ide-ide.
Jika Plato lebih mengedepankan dunia ide, Aristoteles lebih cenderung menekankan eksperimen untuk mengetahui sebuah kebenaran atas sesuatu. Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan menjadi, ia menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya, yang semua itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut sebagai realisme.

DAFTAR PUSTAKA

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2008
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara, 1988
Sanuri, dkk. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN SA Press, 2011











































[1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 48.
[2] Sanuri, dkk, Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hal. 22.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 59.
[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 50.
[5] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara,1988), hal. 125.
[6] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 69.
[7] Ali Maksum, Pengantaar Filsafat, (Yogykarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 81.
[8] Ibid, hal. 84-85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar