BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat yang konon merupakan ibu dari semua ilmu
pengetahuan adalah interpretasi dari para filosof. Sebagai konsekwensi dari
banyaknya filosof, terdapat beberapa sudut pandang dan aliran-aliran yang
berbeda-beda dalam filsafat. Di dalam makalah ini, akan diterangkan sekilas
tentang para filosofpada zaman klasik, yang meliputi latar belakang kehidupan,
sumber filsafat, dan bagaimana pemikiran-pemikiran mereka yang berkaitan dengan
filsafat.
Beberapa tentang kelahiran dan
perkembangan Filsafat pada awal kelahiranya tidak dapat di pisahkan dengan perkembangan (Ilmu)
pengetahuan yang munculnya pada masa peradaban kuno (masa yunani) makna kata
Filsafat sendiri adalah cinta Keahrifan, arti kata tersebut belum memperhatikan
makna kata yang sebenarnya dari kata Filsafat, sebab pengertian “mencintai”
belum memperlihatkan keaktifan seorang Filosof untuk memperoleh Kearifan.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
pendapat plato dalam konteks filsafatnya ?
2.
Apa
yang menjadi obyek dari filsafat plato dan aristoteles?
3.
Bagaimana
interpretasinya mengenai ide-ide atau pemahamannya?
C.
Tujuan
Dengan terselesaikannya makalah ini,
diharapkan kita dapat mengerti dan memahami pola pikir, pemikiran, dan sumber
filsafat para filosof pada zaman klasik, yaitu di masa Plato dan
Aristoteles.
BAB II
FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES
A. Plato (427-347
SM)
1.
Latar Belakang
Plato adalah salah satu murid dari Socrates yang taat di
antara pengikutnya yang pintar dan mempunyai pengaruh yang amat besar.
Plato lahir di Athena pada tahun 427 SM.
Ayahnya bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus, raja terakhir
Athena, yang sangat dikagumi dan dicintai rakyat karena kecakapan dan
kebijaksanaannya memerintah pada masa itu. Ibunya bernama Periktione keturunan
Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung Athena. Nama plato yang sebenarnya
adalah Aristocles. Karena dahi dan bahunya yang amat lebar dia memperoleh
julukan “Plato” dari seorang pelatih senamnya. Plato dalam bahasa Yunani berasal
dari kata “Platos” yang berarti “kelebaran”. Dengan demikian, nama Plato
berarti “si lebar”.
Sejak
kanak-kanak ia telah mengenal Socrates yang akhirnya menjadi gurunya selama 8
tahun. Pada usia 40 tahun, ia berkunjung ke Italia dan Sicilia untuk belajar
ajarannya Pythagoras. Sekembalinya dari sana, ia mendirikan sebuah sekolah yang
diberi nama Akademia. Ia memberikan pengajaran secara baik dalam bidang ilmu
pengetahuan dan filsafat, utamanya bagi orang-orang yang ingin menjadi
politikus.[1]
2.
Sumber Filsafat
Plato
Guru filsafat yang amat dikagumi, dihormati, dan dicintai
Plato ialah Socrates. Bagi Plato, Socrates adalah guru sekaligus sahabat.
Karena itu, tak heran jika hampir seluruh karya filsafat Plato menggunakan
“metode sokratik”, yaitu metode yang dikembangkan oleh Socrates yang dikenal
dengan nama metode dialektis. Metode tersebut terwujud dalam suatu bentuk “
tanya jawab” atau dialog sebagai suatu upaya untuk meraih kebenaran dan
pengetahuan. Dari Socrateslah Plato mengenal nilai-nilai kesusilaan yang
menjadi norma-norma dalam diri dan kehidupan manusia dan etika saja lewat
filsafat, kemudian digunakannya untuk mengetahui segala sesuatu dan menetapkan
hakikat dari segala sesuatu itu.
Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ajaran tentang
“Dunia Ide”. Ia mengajarkan bahwa dunia yang kelihatan hanyalah merupakan
bayangan dari dunia yang asli, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia
berasal dari dunia ide yang terkurung di dalam tubuh, yang pada ujungnya
keterasingan ini menimbulkan rasa rindu untuk kembali ke “Surga Ide-Ide”[2]. Pemikiran Plato
inilah yang pada akhirnya dapat menjembatani permasalahan lama: mana yang benar
yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Pengetahuan yang
diperoleh lewat indera, disebutnya pengetahuan indera atau pengalaman,
sedangkan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal.
Pengetahuan indera bersifat tidak tetap dan berubah-ubah, sedangkan pengetahuan
akal bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.
Sebagai
penyelesaian atas persoalan yang dihadapi Plato tersebut, ia menerangkan bahwa
manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang
bersifat tidak tetap, bermacam-macam, dan berubah-ubah; dan dunia ide yang
bersifat tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan
bayang-bayang dari dunia ide. Sedangkan dunia ide sendiri merupakan dunia yang
sesungguhnya, yaitu dunia realitas. Dengan demikian, dunia yang sesungguhnya
atau dunia realitas adalah dunia ide.
Plato
mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran Heracleitos itu benar, tapi hanya
berlaku pada dunia pengalaman. Demikianpula, pendapat Parmenides juga benar
tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Plato dengan ajaran ide ini, berada di alam ide, bukan hasil abstraksi seperti
pada Socrates. Ide itu umum, berarti berlaku untuk umum juga. Selain kebenaran
umum, Plato juga berpendapat bahwa ada kebenaran yang khusus, yaitu
kongkretisasi ide di alam ini.[3]
Pemikiran Plato
terkait dengan Tuhan, ia mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi
manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahuinya, yaitu[4] :
a.
Manusia itu
mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.
Tuhan itu
mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
c.
Tuhan hanya
dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak, dan
lain-lain.
d.
Tuhanlah yang
menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Adapun dalam kefilsafatan, Plato membedakan filsafat atas
tiga bagian sebagai berikut[5]:
a.
Dilektika : Tentang ide-ide atau
pengertian-pengertian umum
b.
Fisika : Tentang dunia materiil
c.
Etika : Tentang kebaikan
B. Aristoteles
(384-322 SM)
1.
Latar Belakang
Aristoteles
dilahirkan di Stegeira, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang
dokter pribadi di kerajaan Macedonia
Amyntas. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Athena untuk belajar di sekolah
Akademia milik Plato selama 20 tahun hingga Plato meninggal. Beberapa lama kemudian,
ia menjadi pengajar di Akademia Plato
untuk mengajar ilmu logika dan retorika[6]. Selain itu, ia
juga tercatat sebagai tutor (guru) Alexander, putra dari Philip, seorang
jenderal besar di Masedonia. Alexander mendapat pengaruh yang banyak dari gurunya,
tidak hanya ide dan rencananya, akan tetapi juga pola pemikirannya.
2. Realisme Aristoteles
Kecenderungan berfikir saintifik tampak
dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan
metode empiris. Jika dibandingkan dengan Plato yang pandangan filsafatnya
bersifat abstrak dan idealisme, maka orientasi yang di kemukakan Aristoteles
lebih pada hal-hal yang kongkret (empiris).[7]
Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif
antara tetap dan menjadi, ia menerima yang berubah dan menjadi, yang
bermacam-macam bentuknya, yang semua itu berada di dunia pengalaman sebagai
realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut
sebagai realisme.
Meskipun 20 tahun menjadi Plato, Aristoteles menolak
ajaran Plato tentang dunia ide. Menurutnya tidak ada ide-ide yang abadi.
Pemahaman Plato tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas
inderawi. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang ide-ide merupakan
interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk
konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan
kemampuan itu tidak perlu menerima alam ide-ide abadi. Aristoteles
menjelaskannya dengan kemampuan akal
budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-bentuk universal
dari realitas empiris individual.
Tidak hanya itu, Aristoteles juga menolak paham Plato
tentang ide yang baik dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi
atau penyatuan dengan ide yang baik tersebut. Ia beranggapan bahwa paham yang
baik itu sedikitpun tidak membantu seseorang untuk mengetahui bagaimana ia
harus bekerja dengan baik. Apa yang membuat hidup manusia bermutu harus dicari
dengan bertolak dari realitas manusia sendiri.[8]
D.
Filsafat
yunani klasik
Pada
periode yunani klasik perkembangan filsafat menunjukan kepastian, yaitu
ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Zaman klasik bermula
dengan Socrates, tetapi Socrates belum sampai kepada sesuatu sistim filosofi,
yang memberikan nama klasik kepada filosofi itu. Sistem ajaran filosofi klasik
baru dibangun oleh plato dan aristoteles, berdasaran ajaran Socrates tentang
pengetahuan dan etik beserta folosofi alam yang berkembang sebelum Socrates.
Plato mencapai titik persatuan dalam
Filosofi grik yang selama itu menyatakan perbadaan pandangan. Dengan itu
terdapat, untuk pertama kali dalam sejarah dunia barat, suatu sistem pandangan
yang menyuluhi keseluruhannya dari satu pokok. Aristoteles meneruskan pokok
pengertian Plato dan membangun suatu system Filosofi yang di dalamnya terdapat
tempat tersendiri bagi berbagai ilmu spesial. Buah pikiran dalam sistem
pengetahuan Plato dan Aristoteles menguasai alam pikiran orang barat sampai
kira-kira dua ribu tahun lamanya. Itulah yang membarikan nama
klasik kepada Filosofi mereka.
E.
Etik Sokrates, Plato dan Aristoteles
Budi
ialah tahu, kata Sokrates inilah intisari daripada Etikanya. Orang yang
berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etikanya itulah kelanjutan
daripada metode Sokrates.
Ajaran Etik Sokrates intelektual
sifatnya, selain dari itu juga rasional. Menurut Sokrates, Manusia itu pada
dasarnya baik. Seperti dengan selaga barang yang ada itu ada tujuannya, begitu
juga hidup Manusia. Keadaan dan tujuan Manusia ialah kebaikan sifatnya dan
kebaikan budinya. Dari pandangan Etik yang rasioal itu Sokrates sampai kepada
sikap hidup, yang penuh rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita
kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Dalam segi pandangan Sokrates yang
berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu
menunjukkan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia sekarang Filosof yang utama
seluruh masa.
Seperti juga Sokrates etika Plato
bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya ialah mencapai budi baik.
Pendapat Plato seterusnya tentang etik bersendi
pada ajarannya tentang idea. Menurut Plato, ada dua macam budi :
1. Budi Filosofi yang timbul dari
pengetahuan dengan pengertian.
2. Budi yang biasa terbawa oleh
kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang di pakai tidak terbit dari keyakinan,
melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak.
Ada dua jalan yang dapat ditempuh
untuk melaksanakan dasar etik yaitu:
1. melarikan diri dalam pikiran dari
dunia yang lahir dan hidup semata-mata
dalam dunia idea.
2. mengusahakan berlakunya idea itu
dalam dunia yang lahir ini.
Kedua-dua jalan itu di empuh oleh Plato.
Tujuh etik Plato bersatu kembali
pada bidang Agama, yang menekankan bahwa budi adalah tujuan untuk melaksanakan
idea keadilan dalam penghidupan seseorang dalam Negara sebagai badan kolektif.
Etik Aristoteles pada dasarnya
serupa dengan etik Sokrates dan Plato. Tujuannya mencapai Eudaemunic,
kebahagiaan sebagai “Barang yang tertinggi” dalam penghidupan. Tetapi ia
memahamkannya secara realis dan sederhana. Ia tidak bertanya tentang budi dan
berlakunya seperti yang di kemukakan Sokrates. Ia tidak pulang menuju
pengetahuan tentang idea yang di tegaskan oleh Plato. Ia menuju kepada kebaikan
yang tercapai oleh Manusia yang sesuai dengan jenisnya laki-laki atau
perempuan, derajatnya, kedudukannya atau pekerjaannya. Tugas daripda etik ialah
mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala
perbuatan. Budipikiran, seperti kebijaksanaan, kecerdasan dan pendapat yang
sehat lebih diutamakan oleh Aristoteles dari budi perengai, seperti keberanian,
kesederhanaan dan lain-lainnya. Keadilan dan persahabatan, menurut Aristoteles
adalah Budi yang menjadi dasar hidup bersama dalam keluarga dan Negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Analisis
ajaran dari Plato dan Aristoteles tentang rasio yang menyatakan adanya dualisme dalam diri manusia. Menurut Plato, bahwa dalam diri
manusia terdapat dua “dunia”, yaitu dunia ide dan dunia panca indra, sedangkan Aristoteles
yang merupakan murid dari Plato juga mengatakan adanya dualisme dalam diri
manusia. Perbedaannya, dualisme itu bukan berupa dunia ide dan dunia panca
indra, tetapi lebih luas lagi yaitu berupa bentuk dan materi. Teori bentuk dan
materi ini juga dapat berlaku untuk benda apapun selain manusia, yang mana
mempunyai materi (bahan dasar) dan bentuk (wujud hasil). Ia juga mengkritik
pendapat Plato tentang ide. Jika berbicara tentang ide, maka saat itu pula
sedang berbicara tentang manusia. Jika berbicara tentang manusia, Aristoteles
tidak spesifik mengarah pada ide (yang berbeda-beda), tetapi secara kongkrit
membedakan antara manusia dengan manusia yang lain (seutuhnya). Dalam arti, dia
tidak menafikan dunia ide, hanya saja ide itu sudah bersemayam dalam tiap
(jiwa) manusia yang berada dalam bentuk masing-masing (wujud manusia).
Dengan melihat kedua paradigma diatas, bisa dinilai
bahwa keduanya itu benar menurut rasio, karena bisa diterima oleh nalar. Dan
keduanya tetap berada dalam kebenaran rasio walaupun seandainya al-Qur’an tidak
diturunkan. Tetapi kemudian islam –melalui para pemikirnya- turut membenarkan
teori dualisme diatas, yang kemudian dipakai untuk metode relasi horisontal
antar sesama manusia dan alam, dan vertikal antara manusia dan Tuhan.
Sebagai salah satu contoh adalah pemikiran al-Ghazali.
Ia adalah tokoh yang berupaya mendamaikan antara teori filsafat, tasawuf, dan
syari’at. Terlihat dari ungkapan dalam kitabnya yang masyhur, Ihya ‘Ulum
al-Din;
“…akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa
pengetahuan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang yang mendukung taqlid tanpa
memakai ilmu pengetahuan intelektual, adalah orang yang bodoh. Dan orang yang
puas hanya dengan ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya dari al-Qur’an dan Sunnah
adalah orang yang sombong”
Menurut al-Ghazali, wahyu dan akal itu saling
membutuhkan. Dan kebenaran agamawi dapat diperoleh
dengan korelasi antara keduanya. Karena itulah fungsi akal yang dimiliki
manusia. Maka akal mempunyai peran penting untuk mencari sebuah kebenaran. Ini
pulalah maksud dari para filsuf barat manganai kebenaran yang juga mereka bidik
sejak dahulu, sebagai pembuktian bahwa setiap unsur itu mempunyai makna yang
dapat dimengerti oleh akal budi.
B.
KESIMPULAN
Filsafat-filsafat Plato pada awalnya bersumber dari
gurunya Socrates, begitu juga metode yang digunakannya sama dengan metode yang
dipakai Socrates, yaitu metode dialektik. Akan tetapi ajaran dan pemikiran
Plato amat berbeda dengan Socrates. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya semua
realitas yang terjadi pada dasarnya sudah ada dalam dunia ide. Jiwa manusia
berasal dari dunia ide yang terkurung di dalam tubuh, yang pada ujungnya
keterasingan itu menimbulkan rasa rindu untuk kembali ke surga ide-ide.
Jika Plato lebih mengedepankan dunia ide, Aristoteles
lebih cenderung menekankan eksperimen untuk mengetahui sebuah kebenaran atas
sesuatu. Berbeda dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan
menjadi, ia menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya,
yang semua itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya filsafat Aristoteles disebut sebagai realisme.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum, Ali. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2008
Achmadi, Asmoro. Filsafat
Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Tafsir, Ahmad. Filsafat
Umum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990
Salam, Burhanuddin. Pengantar
Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara, 1988
Sanuri, dkk. Pengantar
Filsafat. Surabaya: IAIN SA Press, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar