PERNIKAHAN DI GORONTALO
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan
hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan
segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada
disekitarnya.
Kebudayaan
merupakan pengetahuan manusia yang di wariskan secara turun temurun melalui
kebiasaan ataupun adat istiadat tentang manusia harus hidup secara baik agar
benar-benar menjadi manusia yang baik dan menghindari peilaku-perilaku yang
tidak baik. Oleh sebab itu kebudayaan harus diselamatkan. Karena kemungkinan
kebudayaan itu punah atau tidak diperlakukan lagi oleh pendukungnya. Salah satu
kebudayaan tersebut adalah di Gorontalo.
Gorontalo merupakan daerah yang banyak meyimpan keanekaragaman
kebudayaan salah satunya yaitu upacara adat pernikahan di Gorontalo. Uapacara
ini memiliki unsur yang unik dan menarik serta penting untuk dijaga dan
dilestarikan. Penduduk asli Gorontalo meyoritas menganut agama islam. Mereka
meyakini bahwa Allah swt yang menguasai dan mengatur langit dan bumi,
menghidupkan dan mematikan semua manusia dan makhluk hidup lainnya.
Rumusan Masalah:
1.
Bagaimana
proses pernikahan adat Gorotalo?
2.
Bagaimana sebelum
upacara pernikahan?
3.
Bagaimana saat
upacara pernikahan?
4.
Bagaimana
sesudah upacara pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
Penduduk asli Gorontalo menurut J.G.F. Riedel adalah termasuk ras
polinesia yang datang dari sebelah utara. Tetapi sebelum kedatangan mereka
daerah ini sudah ada penduduk yang mendiaminya yang masuk dari sebelah barat.
Oleh orang-orang Gorontalo mereka disebut hulontalangi (pengembara). Kemudian
mereka bercampur dengan ras polinesia, pada mulanya mereka hidup mengelompok
didaerah pegunungan tilongkabila. Karena dataran rendah pada bagian selatan
daerah ini masih tergenang air. Barulah pada abad XI penduduk daerah pegunungan
turun, berpindah ke daerah dataran itu karena air sudah surut.
Penduduk yang berasal dari daerah lain sudah mulai berdatangan
yaitu seperti orang Tomini, Loinaus, Bugis, Makasar, dan Ternate. Terutama pada
abad XV, XVI, XVII, penduduk dari daerah kerajaan islam: Ternate, Bugis dan
Makasarlah yang paling banyak pindah kedaerah Gorontalo. Sehingga penduduk
Gorontalo yang sekarang, merupakan campuran dari:
a.
Penduduk asli
(pengembara = Hulontalangi)
b.
Ras polinesia
dari utara
c.
Penduduk daerah
Tomini (suku) dari barat
d.
Suku Ternate,
Bugis, makasar (pembawah agama islam). Ditambah lagi penduduk bangsa Cina,
Arab, Belanda, Burgers (campuran belanda dan
A.
Proses
Pernikahan Adat Gorontalo
Pernikahan Adat Gorontalo memiliki ciri khas
tersendiri. Karena penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir
seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung
tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh
masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati–Sareati hula hula to
Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah.
Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur
segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Termasuk adat
pernikahan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Prosesi pernikahan
dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah.
Pernikahan Adat Gorontalo ini perlu di
lestarikan, karena mengandung nilai–nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo
ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat
dimana–mana pernikahan di Gorontalo tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, banyak pemuda zaman
sekarang yang enggan mempelajari adat pernikahan gorontalo. Sehingga warisan
leluhur ini semakin terlupakan, karena tidak adanya regenerasi penerus Adati lo
Hulondhalo.
B.
Sebelum Upacara Pernikahan
Menurut adat yang berlaku, sebelum kedua muda
mudi melangsungkan upacara biasanya harus melalui tahap-tahap berikut:
1.
Keluarga si pemuda mengadakan penyelidikan
dengan jalan meninjau (mobilohe) secara tidak di ketahui oleh keluarga gadis atau si gadis itu sendiri. Yang di
tinjau adalah mengenai cara berdandan (berpakaian), si gadis sedang membantu
orang tua atau bermalas-malasan.
2.
Pihak keluarga si pemuda mengutus seorang
perantara untuk melaksanakan peminangan (motolobalango), dengan mengucapkan
bahasa sindiran yang bunyinya: “wono ito tahutahu intani deyami yatiya mei
jangge mayi; wono ito woluwo opolohungo de amiyatiya ta momuhuto; wonu woluwo
burungi potalinto de ami yatiya tamotali mayi”. Artinya: apabila tuan rumah
menyimpan sebutir intan izinkanlah kami membuat tempatnya; andai kata ada bunga
tertanam dihalaman rumah tuan, baiklah kami memeliharanya; kalau tuan berkenan
menjual seekor burung, maka izinkanlah kami membelinya. Pihak orang tua gadis
menjawabnya: “ donggo mo o’otawa woloungala’a; dabo donggo to ombongo walao
ta dulota; yilumuwalayi lou mobongo walao ta dadata”. Artinya: “kami hendak
memberitahukan dengan seluruh keluarga bahwa waktu anak masih ada dalam
kandungan adalah anak ibu bapaknya, setelah lahir menjadi anak seluruh
kerabat”. Seminggu kemudian setelah pihak keluarga gadis selesai mengadakan
permusyawaratan, datanglah perantara (telangkai) untuk mengecek
pembicaraan dengan keluarga si gadis (motua tato u pilo o’otawa). Kalau
pihak keluarga si gadis hadir dalam pertemuan ini berarti peminangan dapat
dilanjutkan. Sebuah singkisan dan sirih pinang di serahkan kepada keluarga si
gadis. Mas kawin (tonelo) di tetapkan pula dan kadang-kadang diikuti
permintaan akan bulinggodu dan ilato (music dan potret) dalam
pesta.
3.
Sehari sebelum upacara pernikahan yang telah
ditentukan, mas kawin di serahkan kepada keluarga si gadis, yang di isi dalam kola-kola
(usungan yang berbentuk perahu yang panjangnya 25 cm). isinya berupa uang tonelo,
sirih pinang, tembakau dan buah-buahan. Malam harinya diadakan kunjungan si
pemuda ke rumah calon istrinya bersama-sama dengan pemuda yang sebaya, yang di
sebut mopotilontahu atau molilo huwali (meninjau kamar). Dalam
kunjungan ini biasanya diadakan upacara singkat dengan pertunjukan tarian saronde
atau molapi saronde (melempar selendang). Maksud kunjungan ini untuk
memperlihatkan kepada si gadis, bahwa kedua calon mempelai siap mengayuhkan
bahtera rumah tangga.
C.
Saat Upacara Pernikahan
Saat pada hari
upacara pernikahan tepat pada pukul 08.00 pagi pengantin laki-laki di arak
menuju rumah pengantin perempuan, setelah ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Rombongan pengantin ini dikawal oleh pemangku-pemangku adat dan diiringi dengan
tepikan genderang/ rebana bersama lagu-lagu tinilo (nyanyian berisi nasihat
dan kegembiraan). Tiba-tiba dirumah pengantin perempuan, pengantin laki-laki
mencuci kakinya dan membayar uang adat (wulo lo oato) mereka diterima
keluarga pengantin perempuan, dipersilahkan duduk dan dihidangkan sirih pinang.
Di bawah pimpinan imam, izab qabul diadakan. Kemudian pemangku adat (bate)
sambil bersyair (tuja’i) bersama mempelai laki-laki menjemput mempelai
perempuan setelah membayar uang adat. Mempelia
perempuan keluar dari kamar diiringi oleh pengiringnya dan diusung untuk duduk
di atas kursi di susul oleh pengantin laki-laki dan di dampingi oleh wakil
orang tua dari kedua belah pihak. Oleh imam dibacakan do’a selamat dan bate
menyampaikan fatwa yang disebut momalebohu.
Sementara
member nasihat, bate tersebut menghamburkan beras kuning. Selesai di
rumah perempuan, kedua mempelai diarak kerumah pengantin laki-laki untuk
pemasangan cincin kawin oleh kerabat laki-laki dan kemudian diarak lagi kerumah
pengantin perempuan. Upacara mengarak penganting ini disebut upacara modelo.
Dengan demikian selesailah upacara pernikhan dan suami istri tinggal bersama
orang tua si perempuan sebelum mereka membangun rumah baru.
D.
Sesudah Upacara Pernikahan
Setelah selesai
upacara pernikahan kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri dan untuk
sementara waktu mereka tinggal dirumah orang tua si perempuan sampai mereka
memilki rumah. Sesudah mereka memiliki anak-anak, para kaum ibu/istri-istri
pada umumnya harus mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Istri-istri ini
tidak boleh mencari nafka seperti suami. Hal ini menurut nilai budaya
masyarakat Gorontalo, seorang istri yang pandai mengurus rumah tangga, mendidik
anak-anak dan tidak meninggalkan rumah tanpa izin suami atau tidak mencari
nafkah, merupakan tingkah laku yang
terpuji sebagai warisan dari leluhurnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan Adat
Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri. Pernikahan Adat Gorontalo ini perlu di
lestarikan, karena mengandung nilai–nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo
ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat
dimana–mana pernikahan di Gorontalo tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo.
Sebelum upacara
adat pernikahan biasanya keluarga si pemuda mengadakan penyelidikan dengan
jalan meninjau (mobilohe) keluarga si gadis. Setelah selesai upacara
adat pernikahan suami istri tinggal bersama orang tua si perempuan sebelum
mereka membangun rumah baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar