Kamis, 26 April 2012

Makalah Ulum al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tidaklah tersembumyi bagi siapapun juga bahwa tiap-tiap sesuatu dan ada kadarnya. Demikianlah sunnatullah didalam alam ini. Sejarah adalah saksi yang benar menetapkan kebenaran ini. Seseorang ahli sejarah yang hendak menggali sesuatu dari perkembangan sejarah harus mengetahui sebab-sebab kejadian dan pendorong-pendorongnya, jika dia ingin mengetahui hakikat sejarah itu sebenaranya, bukan sejarah saja yang memerlukan hal demikian, ilmu-ilmu tabi’at, ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kebudayaan serta kesusastraan juga memerlukan sebab dan musabab.
Turunnya Wahyu al-Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat mengagetkan sekaligus menggembirakan hati Rasulullah SAW. Sebagaimana turunnya Surat Al-‘alaq(ayat:1-5), Nabi Muhammad SAW  dalam menerimanya sangatlah berat karena karena diturunkan lewat perantara malaikat jibril sesosok yang membuat Nabi SAW ketakutan. Saat malaikat jibril menyampaikan wahyu tersebut, Rasullullah juga merasa keberatan karena tidak bisa melaksakan apa yang diperintah malaikat jibril. Tetapi setelah berkali-kali malaikat jibril mengulang akhirnya Rasullah SAW dapat menerimanya. Begitupun saat menerima ayat-ayat yang lain, Rasulullah selalu merasa ketakutan dengan segala sesuatu yang mengiringi ayat-ayat tersebut.
Begitu sulitnya Rasulullah dalam menerima wahyu membuktikan kalau peristiwa turunnya Al Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat luar biasa dan juga merupakan suatu . Dengan turunnya Al Qur’an berarti banyak hal yang perlu dikaji lebih mendalam lagi, baik dari segi sebab-sebab turunnya atau yang sering disebut Asbabun Nuzul maupun proses turunnya Wahyu Al Qur’an itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas bahwa penulis dapat merumuskan suatu masalah terkait dengan Wahyu, yaitu sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian daripada Wahyu?
2.      Bagaimana Cara Penyampaian Wahyu?
3.      Bagaimana Sebab-sebab Turunnya Wahyu?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wahyu
Al-Wahyu atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan materi itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan  cepat. Oleh karena itu, maka dikatakan wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditunjukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahi orang lain. Menurut ilmu bahasa, wahyu ialah : isyarat yang cepat dengan tangan dan suatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan, juga bermakna surat, tulisan, sebagaimana bermakna pula segala yang kita sampaikan kepada orang lain untuk diketahuinya.
Wahyu itu ialah: yang dibisikan kedalam sukma, diilhamkan dan isiyarat cepat yang lebih mirip kepada dirahasiakan daripada dilahirkan.
Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi:
1.     Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيه
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia… “ (Al-Qashas [28]:7).
2.     Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al-Qur’an:
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.”’ (Maryam [19]:11).
3.     Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu;” (Al-An’am [6]:121).
4.     Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah dan harus dikerjakan.
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". (Al-Anfal [8]:12).
Sedangkan menurut istilah, wahyu ialah: sebutan bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara yang tepat dari Allah kedalam dada Nabi-nabi-Nya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz Al-Qur’an. Dapat diartikan juga bahwa wahyu Allah kepada Nabi-nabi-Nya adalah: pengetahuan-pengetahuan yang Allah tuangkan kedalam jiwa Nabi, untuk mereka sampaikan kepada manusia untuk menunjuki dan memperbaiki mereka didalam dunia serta membahagiakan mereka di akhirat.
            Oleh sebab itu para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
1.     Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus.
2.     Bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz.
3.     Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad S.A.W.

Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim,
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”. Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.
Ilham dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.
Dua macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams/91: 8,
Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya.
Dua macam instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur) dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua macam instink ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan Allah.
 Dalam pengertian lain bahwa Ilham, sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia …’.” (Al-Qashash: 7). Ilham berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah, “Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’.” (An-Nahl: 68).
Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al qur’an, “Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka, ‘Hendaknya kamu bertasbih di waktu pagi dan petang’.” (Maryam: 11).
Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia. “Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (Al-An’am: 121). “Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu mereka.” (Al-An’am: 112).
Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman’.” (Al-Anfal: 12). Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al muha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.
B.     Proses Penyampaian Wahyu
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an berdasarkan dalil ayat al Quran dan riwayat Hadits shahih melalui tiga tahap yaitu :
Tahap Pertama, Al-Qur’an berada di Lauh Mahfuzh, sebagaimana firman Allah:
“padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruuj: 20-22)
Ketika Al-Qur’an berada di Lauh Mahfuzh tidak diketahui bagaimana keadaannya, kecuali Allah yang mengetahuinya, karena waktu itu Al-Qur’an berada di alam ghaib, kemudian Allah menampakkan atau menurunkannya ke Baitul ‘Izzah di langit bumi. Secara umum, demikian itu menunjukkan adanya Lauh Mahfuzh, yaitu yang merekam segala qadha dan takdir Allah SWT, segala sesuatu yang sudah, sedang, atau yang akan terjadi di alam semesta ini. Demikian ini merupakan bukti nyata akan mengagungkan kehendak dan kebijaksanaan Allah SWT yang Maha Kuasa.
Jika keberadaan Al-Qur’an di Lauh Mahfuzh itu merupakan Qadha (ketentuan) dari Allah SWT, maka ketika itu Al-Qur’an adanya persis sama dengan keadaannya sekarang. Namun demikian hakekatnya tidak dapat diketahui, kecuali oleh seorang Nabi yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya. Dan segala sesuatu yang terjadi di bumi ini telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh sebagaimana firman Allah :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.S. Al Hadiid: 22)
Tahap Kedua, Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh diturunkan ke langit bumi (Baitul ‘Izzah). Berdasarkan kepada beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits berkah yang dinamakan malam Al-Qadar (Lailatul Qadar) dalam bulan suci Ramadhan. Sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan.”(Q.S Al-Qadr: 1).
Proses penyampaiannya yang kadangkala secara langsung dan kadangkala melalui perantara, diungkapkan dalam Alquran surat al-Syura/42: 51 sebagai berikut:
Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (secara langsung) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana [Q.S. Al-Syura/42: 51]..

C.       Sebab-sebab Turunnya Wahyu
Mengetahui sebab-sebab turunnya wahyu adalah hal yang sangat penting dalammemahami makna ayat-ayat Al Qur`an, oleh karena itu banyak ulama yang memperhatikansebab-sebab turunnya wahyu. Sehingga sebagian ulama membuat karangan khusus tentangAsbabun Nuzul ini, diantaranya yang lebih dahulu adalah Ali bin Al Madini (Guru ImamBukhori), sedangkan kitab yang paling terkenal adalah Asbabun Nuzul karangan Al Wahididan Lubab Annuqul fi Asbab Annuzul  karangan Imam Suyuti.
Pentingnya mengetahui sebab-sebab turunnya wahyu dikarenakan sebagian ayat AlQur`an tidak dapat difahami dan diketahui hukumnya jika tidak mengetahui sebab turunnyaayat tersebut, misalnya ayat tentang kiblat, dari ayat tersebut difahami bahwa menghadap ke arah selain kiblat ketika shalatdiperbolehkan. Ini adalah pemahaman yang salah, karena pada dasarnya ayat ini turun bagiorang yang dalam perjalanan dan dia tidak tau mana arah kiblat, maka diperbolehkan menghadap ke selain kiblat dalam hal ini.


BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan yaitu sebagai berikut:
1.      Bahwa Wahyu adalah Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat.
2.      Tata cara penyampaian wahyu Allah SWT. kepada para nabi itu pada hakekatnya melalui dua cara, yaitu: yang pertama secara langsung, tidak melalui Malaikat Jibril dan yang kedua tidak secara langsung, yaitu melalui perantara Malaikat Jibril.
3.      Wahyu adalah Al-qur’an dan Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah, tentu saja al-Qur’an mutlaq, bukan puitisasi penyair (pujangga), bukan mantra-mantra tukang tenung, bukan bisikan syaithan yang terkutuk; bahkan juga bukan sabda Nabi Muhammad SAW. pendeknya, al-Qur’an adalah kalam Allah SWT, bukan perkataan selain Dia.
B.        Saran
Dalam makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karenanya penulis memohon maaf, karena penulis hanyalah mausia yanng penuh salah dan lupa. Kemudian Kritik dan saran sangat kami harapkan guna perbaikan dikemudian hari dan semoga makalah ini bemanfaat bagi orang yang membacanya.  
     
DAFTAR PUSTAKA
Syakur Sf, M. ‘Ulumul al-Qur’an.  Semarang : PKPI2-FAI Universitas Wahid Hasyim, 2007.
Amin, Moh, dkk, Qur’an Hadits II. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam, Universitas Terbuka, 1993.
Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. ‘Ulumul Qur’an I.  Bandung : CV Pustaka Setia, 2000.
Zuhdi, Masfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya : Bina Ilmu, 1993.

2 komentar: