Kamis, 26 April 2012

Makalah Ilmu Kalam Muhammad Abduh



MAKALAH MUHAMMAD ABDUH
BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Islam adalah agama akhir zaman, dimana kesempurnaan dan kebenarannya diterima oleh Allah SWT. Kehadirannya dalam sejarah membawa perubahan dan kemajuan besar bagi adab dan budaya umat manusia karena ia menganjurkan agar setiap kaum selalu berusaha untuk mengubah nasibnya.[1]
Di awal perkembangannya sewaktu nabi Muhammad SAW., masih ada dan pengikutnya baru terbatas pada bangsa Arab yang terpusat di Makkah dan Madinah, dia diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya sama berkata “kami telah mendengar dan kami taat”.[2]
Akan tetapi, perjalanan sejarahnya selama kurun waktu empat abad yang sudah dilaluinya dan bergerak oleh watak aslinya yang membawa dan menganjurkan perubahan itu, setiap mencapai suatu daerah atau memasuki suatu bangsa, ia terpaksa dihadapkan dengan tradisi asli daerah dan suku bangsa tersebut dalam segala bentuk dan aspeknya. Perhadapan muka ini telah menimbulkan aksi dan reaksi, membuahkan berbagai hal dan peristiwa, sebanyak yang positif ada juga yang negatifnya.
Sebenarnya Tajdid atau Pembaharuan dapat ditelusuri latar belakangnya yang dapat dilihat dalam beberapa faktor, yaitu faktor politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah pembaharuan terdapat beberapa tokoh yang cukup terkenal yaitu, Muhammad Abduh. Dimana pikiran-pikirannya cukup besar pengaruhnya terhadap pembaharuan di dalam Islam dan Dunia Islam.
 Muhammad Abduh adalah seorang tokoh salaf, tetapi tidak menghambakan diri pada teks-teks agama. Ia memegangi teks-teks agama tapi dalam hal ini ia juga menghargai akal. Ia terkenal sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam.
Kemudian, berdasarkan pandangan sejarah tampak jelas bahwa aktivitas  ijtihad memang diakui keberadaannya dalam setiap generasi. Kredibilitas hasil ijtihad senantiasa tidaksama antara mujtahid yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kemampuan individu atau kelompok serta kondisi menyeluruh yang melingkupi mujtahid. Hal ini tampak jelas dalam bidang-bidang yang sudah dihasilkan.[3]

B.            Rumusan Masalah
Dalam kaitannya dengan makalah ini, maka penulis merumuskan masalah terkait dengan Pemikiran Muhammad Abduh yaitu sebagai berikut:
1.         Bagaimana Riwayat Hidup Tentang Muhammad Abduh?
2.         Bagaimana Pemikiran Kalam Muhammad Abduh?
3.         Bagaimana Pengaruh Pemikiran Muhammad Abduh Di Dunia Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh termasuk keluarga petani sedang. Ayahnya bernama Abduh Chairullah, penduduk kampung Nasr, daerah Subrakhit, dari propinsi Buhairah (Mesir bawah). Karena tindakan-tindakan penguasa negerinya, ia (ayahnya meninggalkan kampung halamannya, untuk menuju propinsi Gharbiah, dan disana ia menikah dengan Junainah, seorang wanita terpandang dikalangan familinya, sebagaimana dengan Abduh Chairullah sendiri seorang yang terpandang. Dari Junainah tersebut lahirlah seorang anak laki-laki pada tahun 1849 M, dan diberi nama Muhammad Abduh.[4]
Setelah tinggal di propinsi Gharbiah, Abduh Chairullah dengan keluarganya pulang ke kampung halamannya yang semula, dimana Ia kemudian kawin lagi dengan seorang wanita lain, dan dari istri ini pun lahir anak-anaknya.
Dengan demikian, maka Syekh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah yang didiami oleh banyak istri dan anak-anak yang berlainan ibunya. Keadaan rumah tangga yang semacam ini besar pengaruhnya terhadap pikiran-pikiran Syekh Muhammad Abduh tentang perbaikan masyarakat Mesir.[5]
Kemudian Pada tahun 1862, Syekh Muhammad Abduh belajar agama di masjid Syekh Ahmad di Thanta. Semula ia sangat enggan belajar, tetapi karena dorongan dari paman ayahnya Syekh Darwis Khadar, Muhammad Abduh Akhirnya dapat menyelesaikan pelajarannya di Thanta.[6]
Pada tahun berikutnya, Ia pergi ke Kairo dan terus menuju ke masjid Al Azhar, untuk hidup menjadi sebagai seorang sufi, akan tetapi kemudian kehidupan ini ditinggalkan, karena anjuran pamannya itu pula.[7]
Pada tahun 1872 M, Syekh Muhammad Abduh berhubungan dengan Jamaluddin al-Afghani, untuk kemudian menjadi muridnya yang setia. Karena pengaruh gurunya tersebut, ia terjun ke dalam bidang kewartawanan (surat kabar) pada tahun 1876 M. Setelah menamatkan pelajaran di Al Azhar, dengan mendapat ijazah “Alimiyyah” ia diangkat menjadi guru  di Darul ‘Ulum. Akan tetapi karena sebab yang tidak diketahuinya, ia dibebaskan dari jabatannya itu dan dikirim ke kampung halamannya, sedangkan Jalaluddin sendiri di usir dari Mesir. Pada tahun 1880 M, Syekh Muhammad Abduh dipanggil oleh kabinet partai Liberal (bebas-Ahrar) untuk diserahi kepala jabatan surat kabar “al- Waqai’ ul-Misriyah” dan karena pimpinannya yang baik dalam surat kabar tersebut ia menjadi perbincangan banyak orang.[8]
Meskipun tujuan Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh adalah sama, yaitu pembaharuan masyrakat Islam, namun cara untuk menjcapai tujuannya itu berbeda. Kalau yang pertama menghendaki revolusi, maka yang kedua memandang bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara berangsur-angsur.
Pemberontakan Irabi Pasya di Mesir telah mengakhiri kegiatan Syekh Muahmmad Abduh, karena pada akhir tahun 1882 M, Ia diusir dari Mesir. Karena itu ia pergi pertama-tama ke Bairut kemudian pada awal tahun 1884 M, ia pergi ke Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin al-Afghani.[9]
Kemudian di Perancis Syekh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani mendirikan organisasi yang kemudian juga mereka menerbitkan majalah Al-urabi Wusqa, yang anggotanya adalah orang-orang militan dari India, mesir Syiria dan Afrika Utara, dan mendorong umat islam mencapai kemajuan. Perkumpulan urwatul wusqa menerbitkan Al-Urwatul Wusqa yang berhaluan keras terhadap pemerintah penjajah barat. Akhirnya majalah itu tidak boleh beredar di Prancis.[10]
Pada tahun 1885, ia pergi ke Bairut dan mengajar di sana. Di Bairut kegiatannya dialihkan kepada bidang pendidikan dan ia mulai mengajar  serta mendalami ilmu-ilmu keislaman dan Arab-an. Diantara hasilnya ialah buku ar-Raddu ‘alad Dahriyyin (bantahan terhadap orang-orang materialistis) pada tahun 1886 M, terjemahan dari buku berbahasa Persi karangan Jalaluddin al-Afghani, dan buku Syahrul Balaghah pada tahun 1885 M, kemudian Syarah Manamat Badi’ az Zaman al-Hamazani pada tahun 1889 M.[11]
Kemudian pada akhirnya, atas bantuan teman-temannya, di antaranya seorang Iggris, pada tahun 1888 ia kemudian diizinkan pulang ke Kairo. Di sini, ia kemudian diangkat sebagai hakim pada Pengadilan Negeri di kota Banha (ibu kota propinsi Qalyubiah), kemudian pindah ke Pengadilan Negeri Zaqaziq Negeri Abidin (dalam kota Kairo). Dua tahun kemudian ia di angkat menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (pengadilan  Banding Mahkamah al Isti’naf-Courd’ Appel.
Di antara hasil pekerjaanya dalam bidang Pengadilan Agama (al-Mahkamah as-Syar’iah), yang dirangkum dalam bukunya “Taqrir fi Ishlahil Mahakimis Syar’iah”.
Kemudian pada tahun 1899, ia diangkat sebagai mufti Mesir dan jabatan ini diemban sampai ia meninggal pada tahun 1905 dalam usia kurang lebih 56 tahun.[12] Pada tahun itu juga (1899 M), ia menjadi anggota Dewan Perundang-undangan Parlemen yang merupakan fase permulaan kehidupan parlementer di Mesir.
Pada tahun 1894 M, ia menjadi anggota pimpinan tertinggi Al Azhar (Council Superior) yang dibentuk berdasarkan anjurannya, dan disini (Al Azhar) yang mana beliau telah banyak memberikan kontribusi bagi pembaharuan di Mesir. Dan juga Syekh Muhammad Abduh bukan hanya mengadakan pembaharuan-pembaharuan tetapi ia juga aktif memberikan pelajaran.
Pada musim panas tahun 1903 M, ia pergi ke Inggris. Kali ini bukan untuk maksud-maksud politik, melainkan khusus untuk mengadakan tukar pikiran dengan filosof Inggris yang terkenal yaitu Herbert Spencer (1820-1903). Sungguhpun pertemuan ini tidak berlangsung lama, karena kesehatan Spencer tidak mengizinkan, namun pertemuan ini telah meniggalkan kesan yang mendalam pada Syekh Muhammad Abduh.[13] 

B.            Pemikiran Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh adalah termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Walaupun pada saat itu ia diserang oleh orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum Muslim (penentangan yang dilakukan sebelum pembaharuan ini dilaksanakan), musuh-musuhnya sendiri sangat diragukankebersihan niat mereka, dan kebersihan pribadinya, dan pembelaan terhadap agama ini.[14]
Dia yakin bahwa apabila al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum Muslimin akan membaik. Menurutnya, apabila al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di dalamnya pun harus dibenahi, kurikulum diperluas, mencakup sebagian ilmu-ilmu modern, sehingga al-Azhar bisa berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa, dan menjadi pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.[15]
Menurut Muhammad Abduh ada empat segi-segi yang pokok terkait dengan pemikiran pembaharuannya, yaitu sebagai berikut.[16]
a.    Politik dan Ketanah-airan,
b.    Kemasyarakatan,
c.    Aqidah,
d.   Pendidikan dan Bimbingan Umum.
A.           Segi Politik dan Ketanah-Airarn
1.             Arti Tanah Air
Syekh Muhammad Abduh menggariskan kedudukan tanah air dengan adanya hubungan erat dari seseorang warga negara dengan tanah airnya. Ada tiga hal yang mengharuskan seseorang cinta, gairat dan mempertahankan tanah airnya, yaitu sebagai berikut.
a)    Sebagai tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal keluarga dan sanak saudara.
b)   Sebagai tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang kedua-duanya menjadi poros (dasar) kehidupan politik.
c)    Tempat mempertalikan diri di mana seseorang akan merasa bangga atau terhina karenannya.

2.             Demokrasi dan Pemerintahan
Prinsip demokrasi harus dipegangi bersama baik oleh penguasa maupun rakyat biasa. Sejarah Islam menjadi bukti, betapa kuatnya demokrasi yang dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa pertama Islam, sebagaimana yang dilakukanoleh Khalifah Umar ra dan kaumnya, ketika ia berkata di hadapan mereka “wahai kaum muslimin, barang siapa melihat suatu penyelewengan dari diriku, hendaklah ia meluruskannya”. Maka berdirilah seorang dari mereka seraya berkata : “Demi Tuhan, kalau kami dapati pada diri Tuan suatu penyelewaengan, maka kami akan luruskan dengan pedang kami”. Berkatalah Umar ra : “Alhamdulillah, Tuhan telah menjadikan diantara kaum muslimin orang yang sanggup melurudkan penyelewengan Umar dengan pedangnya”.
Menurut Syekh Muhammad Abduh, kalau prinsip demokrasi menjadi kewajiban bagi rakyat dan penguasa bersama-sama, maka kewajiban pemerintah terhadap rakyat ialah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar, agar dapat mewujudkan kebaikan dirinya dan masyrakat. [17]

B.            Segi Kemasyarakatan
Dalam segi kemasyarakatan ia membicarakan dua hal yaitu: jiwa bersama dan kelemahan-kelemahan masyararakat Islam.
1.             Jiwa Bersama
Menurut Syekh Muhammad Abduh, jiwa bersama dalam suatu umat harus diperkuat, sebaliknya jiwa individualisme harus dikikis habis. Jalannya tidak lain hanyalah pendidikan yang didasarkan atas ajaran-ajaran Islam, sebagai pendidikan yang benar.
2.             Pendidikan
Jadi perbaikan keadaan tersebut tidak lain hanya bertujuan mengembalikan jiwa bersama, jiwa nasionalisme dan jiwa keislaman serta kemanusian pada umumnya. Selanjutnya obat yang manjur ialalah ajaran-ajaran agama pada pendidikan dasar. Akan tetapi meskipun demikan, ia tidak menginginkan agar pelajaran di sekolah-sekolah hanya berdiri dari mata pelajaran agama semata-mata, tetapi hendaklah mata pelajaran itu dijadikan inti semua mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain dan ilmu-ilmu teknik yang berguna bagi murid dalam hidupnya dan menyebabkan dia tidak kalah dengan orang Barat dalam kemapuan menguasai hidup.[18]
3.             Kelemahan-Kelemahan Masyarakat Mesir
Syekh Muhammad Abduh membicarakan kelemahan-kelemahan masyarakat Mesir, yang sedikit banyaknya menjadi kelemahan masyrakat Islam dunia timur juga. Aba lima kesalahan-kesalahan masyarakat Mesir menurut Syekh Muhammad Abduh yaitu sebagai berikut.[19]
1.      Pembicaraa-pembicaraan masyarakat Mesir menjadi tanda adanya salah pengertian terhadap hidup dan tidak ada kesungguhan juga karena salah pengertian terhadap hidup dam tidak ada kesungguhan juga karena salah pendidikan dan tidak ada perhatian terhadap akhlak.
2.      Perkawinan dipandang oleh Syekh Muhammad Abduh suatu keharusan sosial. Pilihan dalam kawin sesuai sesuai benar dengan tabiat manusia, sebagai makhluk yang berfikir, yang mempunyai kecondongan naluri untuk mengadakan kerja sama dengan orang yang disukainya.
3.      Ia juga menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah dan sampai dimana bid’ah ini menunjukan penyelewengan dalam akidah. Diantaranya adalah ziarah ke kubur wali-wali.
4.      Ia mencela keras main suap (risywah) yang dipandangnya seba gai tanda kemerosotan akhlak dan kehilangan rasa akan kewajiban.
5.      Acuh tak acuh terhadap kepentingan umum juga mejadi noda masyarakat Mesir dan masyarakat Islam pada umumnya.
C.           Segi Akidah
Dua hal yang dibicarakan dalam segi ini, yaitu :
1.      Akidah Jabariah, dan
2.      Pertalian Akal dengan Wahyu.
1.             Akidah Jabariah
Syekh Muhammad Abduh memandang bahwa pengabdian diri secara mutlak terhadap madzhab-madzhab dan kitab-kitab yang sekarang pada masa-masa akhir Islam tidak saja bertalian dengan lemah kepribadian keilmuan pada masanya dan tidak sejalan dengan kepribadian Islam yang pertama dalam langkah-langakah positif dan baik terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga berhubungan erat dengan akidah/paham Jabar.
Akidah Jabar bukan saja seorang merasa lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan orang lain, karena akidah Jabar pada hakikatnya hanaya bisa hidup atas penghapusan kepribadian dan wujud diri sendiri. Meskipun seharusnya penghapusan ini hanya terjadi dalam hubungan dengan tuhan saja, tetapi karena kelemahan kepribadiaannyaia menganggap bahwa penghapusan tersebut juga berlaku dalam hubungannya dengan sesama makhluk.
Syekh Muhammad Abduh tidak puas kalau kepercayaan seorang mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab kepercayaan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan kelemahan manusia dan menyebabkan ia kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu Syekh Muhammad Abduh menentang paham Jabar dan menyerukan paham Ikhtiar, agar seorang Muslim menjadi orang yang kreatif.
2.             Hubungan Akal Dengan Wahyu
Dalam menjelaskan hubungan akal dengan wahyu atau dengan perkataan lain antara golongan rasional dengan golongan tekstualis dalam Islam, pendapat Syekh Muhammad Abduh sama dengan pendapat Ibnu Rusyd yang hidup pada abad keenam Hijriah dan dengan pendapat Ibnu Taimiah yang hadup pada abad kedelapan Hijriah, yaitu bahwa wahyu mesti sesuai dengan akal. Ia mengatakan sebagai berikut :
“Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berfikir dan menggunakan akal pikiran tentang gejala-gejala alam yang ada di depan kita dan rahasia-rahasia alam yang mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukan Tuhan kepada kita. Al-Qur’an melarang kita bertaqlid, sewaktu menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu yang dicela karena mereka merasa cukup mengikuti nenek moyangnya. Taqlid adalah sesuatu kesesatan yang dapat dimengerti kala terdapat pada hewan, akan tetapi tidak pantas sama sekali pada manusia”.[20]
D.           Segi Pendidikan dan Tuntutan Umum
Sebagai seorang pembaharu (modernis). Ide dan pemikiran  Muhammad Abduh mencakup dalam berbagai bidang. Menurut al-Bahiy, pemikiran Abduh meliputi ; segi politik dan kebangsaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan. Walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan.[21]
Di antara pemikirannya tentang pendidikan dapat dilihat pada penjelasan dan history sebgai berikut.
1.    Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan
Dalam pandangan Abduh, ia melihat bahwa semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku di dunia Islam lebih bercorak dualisme. Bila diteliti secara seksama, corak pendidikan yang demikian lebih banyak dampak negatif dalam dunia pendidikan.
2.    Kurikulum
a.    Kurikulum al-Azhar
   Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, ia memasukan filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar aut-putnya dapat menjadi ulama modern.
b.    Kurikulum Sekolah Dasar
   Ia beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak kanak-kanak. Oleh krena itu, mata pelajaran hendaknya dijadikan sebagai intu semua mata pelajaran.
c.    Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan.
Ia mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh merasa perlu untuk memasukan beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islaml, dan kebudayaan Islam.
Di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-Azhar, M. Abduh mengajarkan Ilmu Mantiq, Falsafah, dan Tauhid, sedangkan selama ini al-Azhar memandang Ilmu Mantiq dan Filsafah itu sebagai barang haram. Dirumahnya Muhammad Abduh mengajarkan pula kitab Tahzib al-Akhlaq susunan Ibn Maskawasy, dan kitab sejarah peradaban Eropa susunan seorang Perancis yang telah diterjemahkan ke dalam bahwa Arab dengan judul al-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al Mamalik al-Awribiyah.[22]
C.           Pengaruh Muhammad Abduh Di Dunia Islam
Pendapat Muhammad Abduh tersebut di Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaharu. Murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin dengan bukunya Tahrr al-Mar’ah, farid wajdi dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syekh Thahtawi Jauhari melalui karangannya Al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wan al-Ulum. [23]
Pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam awal abad ke-20.Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di majalah Al-Manar dan al-Urwat al-Wustqa menjadi rujukan para tokoh pembaharu dalam dunia Islam, hingga diberbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Muhammad Abduh.

D.           Karya-Karya Muhammad Abduh
Beberapa karya-karya Syekh Muhammad Abduh yaitu sebagai berikut :
a. Risalah al-Waridat, 1874.
b. Hasyi’ah ‘ala Syarh al-‘Aqa’id al-Adudiyah, 1876.
c. Najh al-Balaghah, 1885.
d. Al-Radd ‘ala al-Dahriyiyin, diterjemahkan tahun 1886.
e. Syarh Kitab al-Basyair al-Nashraniyah fi al-Ilmi al-Mantiq, 1888.
f. Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani, 1889.
g. Taqrir fi Ishlah al-mahakim al-Syar’iati, 1900.
h. Al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah, 1903.
i. Risalah al-Tauhid, disusun pada tahun 1897.
j. Tafsir al-Manar.


PENUTUP

A.           Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa, Syekh Muhammad Abduh adalah seorang yang memberikan penghargaan tinggi pada kekuatan akal. Meskipun demikian, ia tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal. Konsep teologi yang demikian itu berakibat pada keyakinannya bahwa manusia itu mempunyai kebebasan berfikir dan berbuat. Salah satu buktinya, dia menentang keras terhadap taklid. Kemudian Muhammad Abduh juga mempunyai ide-ide yang brilian dalam bidang pendidikan. Ia menginginkan adanya perubahan terhadap pendidikan demi kemajuan umat Islam. Usaha kerasnya untuk merealisasikan idenya itu, tak jarang menemui tantangan dari umat Islam itu sendiri. Ini juga terbukti yakni terjadinya perubahan kurikulum yang mana Syekh Muhammad Abduh memasukan Ilmu-Ilmu Barat, yaitu Ilmu Filsafat, logika, dan juga Ilmu Pengetahuan Modern. 
Bukan hanya itu, Muhammad Abduh adalah orang yang menentang tentang keyakinan Jabariah, yaitu hanya merasa lemah, baik kepada Tuhan ataupun orang lain. Karena menurutnya bahwa kita manusia harus berikhtiar, harus mempunyai jiwa kreatif.
Dengan demikian, Sikap rasional yang digagas Syekh Muhammad Abduh sangat diperlukan untuk kemajuan Islam, sebagaimana kemajuan yang telah terjadi di masa lampau.


DAFTAR PUSTAKA
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995.
Munir, A. dan Sudarsono. Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam, Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Cet. I.; Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005.
 Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Cet. VIII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Aziz, Ahmad Amir. Neo-Modernisme Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1999.
Aziz, Abdul, dkk. Gerakan Islam Kontemporer Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.






[1] Dr. Burhanuddin, Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal.1.
[2] Ibid.
[3] Drs. A. Munir Dan Drs. Sudarsono, S.H., op. cit., hal. 6.
[4] A. Hanafi, M.A., Pengantar Teologi Islam, (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), hal. 199-200.
[5] Ibid., hal. 200.
[6] Prof. Dr. H. Ramayulis Dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A., Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Cet. I.; Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), hal. 44.
[7] A. Hanafi, M.A., loc. cit.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 201.
[10] Drs. A. Munir Dan Drs. Sudarsono, S.H., Aliran Modern Dalam Islam,  (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hal. 161. 
[11] A. Hanafi, M.A., op. cit., hal. 202.
[12] Prof. Dr. H. Ramayulis Dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A., op. cit., hal. 45.
[13] A. Hanafi, M.A., op. cit., hal. 203.
[14] Husayn, Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Cet. VIII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 301.
[15] Ibid.
[16] A. Hanafi,  M.A., op. cit., hal. 205.
[17] Ibid., hal. 206.
[18] Ibid., hal. 209.
[19] Ibid., hal. 211.

[20] Ibid., hal. 217.
[21] Prof. Dr. H. Ramayulis Dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A., op. cit., hal. 46.
[22] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 53.
[23] Prof. Dr. H. Ramayulis Dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A., op. cit., hal. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar