BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di dalam sosiologi agama kita
mengetahui bahwa agama memiliki tiga aspek dasar. Tiga aspek itu adalah mitos,
ritus, dan etika. Mitos adalah suatu kumpulan kepercayaan (a set of beliefs)
yang merupakan ekspresi kognitif dari suatu sistem agama. Mitos ini berfungsi
memenuhi kebutuhan kognitif dari penganut agama tersebut. Ritus merupakan
dimensi ekspresif dari suatu sistem agama. Ia merupakan ekspresi dari apa yang
dipercayai oleh penganut agama tersebut. Ritus memenuhi kebutuhan emosional
penganut agama tersebut. Sedangkan etika merupakan dimensi praktis dari suatu
sistem agama. Ia merupakan praktek dari apa yang dipercayai di dalam bentuk
tingkah laku sehari-hari. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
penganut agama tersebut. Etika berfungsi memenuhi kebutuhan fungsional manusia.[1]
Menjadi pertanyaan bagi kita adalah darimana datangnya doktrin ini? Apa sumber
doktrin? Pertanyaan ini berkenaan dengan metode berteologi. Mengenai bagaimana
berteologi. Aliran-aliran besar di dalam Protestanisme memiliki metode
berteologi yang berbeda-beda. Aliran liberalisme, ekumenikalisme,
evangelikalisme, dan fundamentalisme berbeda di dalam metode berteologi mereka.[2] Di
dalam makalah ini penulis akan membandingkan metode berteologi dari Friedrich
Schleiermacher yang merupakan bapak teologi liberal dan Alister McGrath dari
kalangan evangelikal (injili). Karena itu makalah ini pertama-tama akan
membahas metode berteologi Schleiermacher yaitu inti agama menurut
Schleiermacher yang merupakan sumber teologinya, mengapa berteologi, dan
otoritas tertinggi di dalam teologi. Kemudian akan dibahas metode berteologi
menurut McGrath yaitu otoritas tertinggi, dan sumber di dalam berteologi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, yakni tentang Schleiermacher maka yang menjadi
permasalahan pokok dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Riwayat Hidup Schleiermacher?
2.
Bagaimana
Metode Berteologi dari Schleiermacher?
3.
Karya-karya
Schleiermacher?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Schleiermacher
Friedrich
Daniel Ernst Schleiermacher dilahirkan di Breslau di Silesia, yang sekarang ini terletak di selatan Polandia pada 21 November
1768. Sebagai anak seorang pendeta tentara dari Gereja
Reformasi di Prusia. Ia belajar di sebuah sekolah Moravia di Niesky di Lusatia Hulu, dan di Barby dekat Halle. Namun demikian, teologi Moravia yang pietis tidak berhasil memuaskan keragu-raguannya yang kian meningkat, dan
dengan berat hati ayahnya memberikan kepadanya izin untuk masuk ke Universitas Halle, yang telah meninggalkan pietisme dan mengambil semangat rasionalis dari Friedrich August
Wolf dan Johann Salomo Semler. Sebagai seorang mahasiswa teologi Schleiermacher mengambil kuliah mandiri dalam membaca dan
mengabaikan pelajaran Perjanjian
Lama dan bahasa-bahasa
Oriental. Namun
demikian, ia tetap mengikuti kuliah-kuliah, yang memperkenalkannya dengan
teknik-teknik kritis sejarah dalam Perjanjian
Baru, dan kuliah Johann
Augustus Eberhard,
yang membuatnya mencintai filsafat Plato dan Aristoteles. Pada saat yang sama ia mempelajari tulisan-tulisan Immanuel Kant dan Friedrich
Heinrich Jacobi. Ia
mengembangkan kebiasaannya yang khas dalam membentuk opini-opininya dengan cara
menguji dan mempertimbangkan dengan sabar berbagai posisi yang digunakannya
untuk membangun pemikirannya sendiri. Sebagai mahasiswa memang ia telah mulai
menerapkan gagasan-gagasan dari para filsuf Yunani hingga merekonstruksikan
sistem Kant.
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher dapat disebut sebagai bapak
dari teologi modern atau bapak pendiri Protestantisme liberal dan seorang
teolog terkemuka pada abad ke-19 dalam kalangan gereja reformatoris. Anak dari
keluarga pendeta yang dibesarkan dalam pietisme tradisi Spener dan masuk
seminari teologi pietis.
Dari seminari Barby milik Persaudaraan Moravia, ia melanjutkan studinya di Universitas Halle pada tahun 1787 di mana karya-karya Imanuel Kant dan Spinoza turut mempengaruhi cara berpikirnya. Tahun 1794, ditahbiskan menjadi pendeta dan bertugas di rumah sakit Kharitas, Berlin. Lima tahun lamanya menjadi mahaguru di Universitas Halle dan kemudian menjadi mahaguru dan dekan fakultas teologi pada Universitas Berlin tahun 1809. Pemikiran-pemikiran teologinya termuat dalam dua buku utamanya yaitu “On Religion: Speeches to its Cultural Despisers” (1799) dan “The Christian Faith” (1821-1822).. Menikah dengan Henriette von Willich, ia sangat dihormati sehingga pada hari pemakamannya diperkirakan 20.000 sampai 30.000 pelayat dari berbagai profesi dan latar belakang hadir di Trinity Church, Berlin pada tahun 1834.
Dari seminari Barby milik Persaudaraan Moravia, ia melanjutkan studinya di Universitas Halle pada tahun 1787 di mana karya-karya Imanuel Kant dan Spinoza turut mempengaruhi cara berpikirnya. Tahun 1794, ditahbiskan menjadi pendeta dan bertugas di rumah sakit Kharitas, Berlin. Lima tahun lamanya menjadi mahaguru di Universitas Halle dan kemudian menjadi mahaguru dan dekan fakultas teologi pada Universitas Berlin tahun 1809. Pemikiran-pemikiran teologinya termuat dalam dua buku utamanya yaitu “On Religion: Speeches to its Cultural Despisers” (1799) dan “The Christian Faith” (1821-1822).. Menikah dengan Henriette von Willich, ia sangat dihormati sehingga pada hari pemakamannya diperkirakan 20.000 sampai 30.000 pelayat dari berbagai profesi dan latar belakang hadir di Trinity Church, Berlin pada tahun 1834.
Setelah menyelesaikan studinya di Halle, Schleiermacher mulai bekerja
sebagai guru privat untuk keluarga Pangeran Dohna-Schlobitten; di tengah
keluarga bangsawan kelas atas itu, ia mengembangkan kecintaannya yang mendalam
terhadap kehidupan keluarga dan sosial. Dua tahun kemudian, pada 1796, ia menjadi pendeta di Rumah Sakit Charité di Berlin. Karena kurangnya wawasan untuk mengembangkan kecakapan
berkhotbahnya, ia mencari kepuasan mental dan rohani di kalangan masyarakat
kelas atas kota itu dan dalam sistem filsafat dan keagamaannya sendiri. Saat
inilah Schleiermacher berkenalan dengan seni, sastra, sains, dan kebudayaan
umumnya. Ia sangat dipengaruhi oleh Romantisisme Jerman, sebagaimana dikemukakan oleh sahabatnya Karl
Wilhelm Friedrich von Schlegel.
Surat-suratnya, Surat-surat Rahasia tentang Lucinde Schlegel, maupun
hubungannya dengan Eleonore Grunow, istri seorang pendeta Berlin, semuanya menunjukkan minatnya ini.
B. Metode Berteologi Menurut Schleiermacher
Model hermeneutika sebelum Schleiermacher masih terbagi menjadi dua
kelompok besar, hermeneutika filologis yang diterapkan atas teks-teks Romawi
dan Yunani kuno serta hermeneutika teologis yang dipakai dalam interpretasi
kitab suci (Bibel). Namun Schleiermacher menyatakan bahwa seorang interpret
harus berada di atas objek interpretasinya, baik teks klasik maupun Bibel. Poin
penting lain dalam pemikiran universal hermeneutics Schleiermacher adalah
persamaan sikap atau perlakuan antara Bibel dengan teks karya manusia. Karena
permasalahan tidak terletak pada materi akan tetapi cara memahaminya. Sebagai
konsekuensinya, kajian filologi teks dan teologi dalam Bibel disubordinasikan
kepada problem penafsiran yang umum.
Schleiermacher
juga berpendapat bahwa kesalahpahaman dalam interpretasi berakar pada perbedaan
pandangan hidup dan sebagainya yang disebabkan oleh perbedaan zaman dan rentang
waktu antara pengarang dan penafsir.
Makna sebenarnya sebuah teks
didapatkan dengan rekonstruksi historis saat teks tersebut ditulis. Jadi apa
yang dimaksud oleh sebuah teks bukanlah apa yang kelihatannya dikatakan kepada
sang pembaca. Dalam pembacaan teks, Schleiermacher berpendapat bahwa
interpretasi dapat dicapai dengan dua cara, yaitu ketata-bahasaan dan
psikologis (grammatical and psychological interpretation). Interpretasi
tata-bahasa berfungsi untuk menyingkap arti sebuah kata dan interpretasi
psikologis ber fungsi untuk mengetahui
motif pengarang ketika menulis teks tersebut. Schleiermacher juga menegaskan
bahwa makna setiap kata harus dipahami sebagai bagian dari keseluruhan mental
pengarang. Ketika tahapan ini dicapai, maka seorang penafsir dapat memahami
teks sebaik pengarang atau bahkan lebih baik darinya dan memahami diri sang
pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri.
Berteologi
menurut Schleiermacher tidak terlepas dari agama itu sendiri. Karena agama
merupakan bahan material yang diolah menjadi teologi. Tetapi apa esensi agama
menurut Schleiermacher?
Bagi Schleiermacher agama tidaklah
ditemukan di dalam rumusan-rumusan doktrin atau sistem teologi. Ia sendiri
mengatakan bahwa doktrin-doktrin, sistem teologi, pengertian
tentang asal
mula dan akhir dari dunia. Agama itu juga tidak ditemukan di dalam cara
bertingkah laku atau etika, sebagaimana yang dilakukan oleh Kant yang membuat
agama sebagai implikasi dari etika. Sebaliknya bagi Schleiermacher agama itu
pada esensinya di temukan di dalam ranah perasaan (feeling; dari bahasa
Jerman: Gefuhl). Perasaan ini bukan sekedar rasa, emosi, atau sensasi
semata-mata. Ia lebih dari itu karena perasaan ini adalah “immediate
consciousness of the universal existence of all finite things, in and trough
the Infinite, and of all temporal things in and trough the Eternal.”5
Lebih lanjut dikatakan “true religion is sense and taste for
the Infinite.”Di dalam pemahamannya yang lebih matang ia mengatakan bahwa:
The common
element in all howsoever diverse expression of piety, by which these are
conjointly distinguished from all other feeling, or, in other words, the
selfidentical essence of piety, is this: the consciousness of being absolutely
dependent, or, which is the same thing, of being in relation with God.7
Di sini kita
melihat bahwa inti agama tersebut ditemukan di dalam perasaan bergantung yang
mutlak terhadap sesuatu yang tidak terbatas, yang kekal, atau Allah. Perasaan
yang diakibatkan karena perjumpaan dengan sesuatu yang tidak terbatas di dalam
yang terbatas dimana antitesis subyek dan obyeknya melebur. Namun bagi
Schleiermacher perasaan ini bukanlah kesadaran mengenai diri sendiri tanpa
referensi terhadap realitas di luar dirinya sendiri sebagai subyek. Kesadaran
ini merupakan kesadaran yang disebabkan oleh sesuatu di luar diri. Kesadaran
ini tetap kesadaran-didalam-relasi dengan realitas yang merupakan obyek
kesadaran tersebut. Oleh karena itu perasan ini bukanlah suatu perasaan
subyektif semata-mata. Karena yang menjadi obyek perasaan atau kesadaran
tersebut adalah Allah itu sendiri yang hadir di dalam orang lain, alam,
masyarakat, dan seluruh keberadaan yang terbatas. Terlebih lagi Schleiermacher
memandang manusia tidak pernah dapat dipisahkan dari sesuatu yang lain di luar
dirinya. Dengan demikian pada dasarnya semua kesadaran yang sejati bersifat
religius.
a.
Doktrin
Agama dan Gereja
Schleiermacher
menyadari bahwa konteks jamannya (rasionalisme dan romanticisme) memerlukan
suatu rumusan agama Kristen yang baru. Ia tidak menggunakan tafsir biblis dan
juga tidak mengambil filsafat dan akal sebagai dasar pembicaraannya mengenai
agama. Teologi, menurutnya mulai dengan analisa diri sendiri yang dilakukan
oleh orang yang (hendak) beriman. Ia merasakan betapa pengalaman yang sejati
tentang Allah ternyata tidak diperoleh manusia melalui “pemahaman rasionil atas
formulasi-formulasi doktrin” atau melalui “keterlibatan dengan tingkah laku
agama”, tetapi pada pengalamanan batiniah dengan Allah. Inti agama sejati
terletak pada konsep “feeling of absolute dependency”.
Esensi agama Kristen menurutnya adalah iman yang monoteistik dan berbeda dengan agama lain karena fakta karya penebusan Yesus dari Nazareth sehingga dalam tingkatan agama maka agama Kristen berada dalam kedudukan yang paling tertinggi dibanding semua agama lain. Jadi agama Kristen menjadi agama yang paling tertinggi (the highest religion) karena (1) monoteisme etis bahwa Allah memberikan hukum dan menunjukkan tujuan utama yang harus dicapai manusia, dan (2) kepastian keselamatan dalam Yesus dari Nazareth yang memiliki kesadaran tentang Allah yang sempurna sehingga Dia tidak membutuhkan keselamatan, melainkan menjadi Juruselamat. Jelas dalam sejarah manusia, agama Kristen adalah agama yang terbaik dari semua agama yang lain. Gereja bagi Schleiermacher memiliki keunikan tersendiri yang terletak dalam misinya memberitakan “jalan keselamatan yang sejati” yaitu pemenuhan kesadaran Allah didalam Kristus (God-consciousness in Christ). Tugas ini hanya dimiliki oleh gereja.
Esensi agama Kristen menurutnya adalah iman yang monoteistik dan berbeda dengan agama lain karena fakta karya penebusan Yesus dari Nazareth sehingga dalam tingkatan agama maka agama Kristen berada dalam kedudukan yang paling tertinggi dibanding semua agama lain. Jadi agama Kristen menjadi agama yang paling tertinggi (the highest religion) karena (1) monoteisme etis bahwa Allah memberikan hukum dan menunjukkan tujuan utama yang harus dicapai manusia, dan (2) kepastian keselamatan dalam Yesus dari Nazareth yang memiliki kesadaran tentang Allah yang sempurna sehingga Dia tidak membutuhkan keselamatan, melainkan menjadi Juruselamat. Jelas dalam sejarah manusia, agama Kristen adalah agama yang terbaik dari semua agama yang lain. Gereja bagi Schleiermacher memiliki keunikan tersendiri yang terletak dalam misinya memberitakan “jalan keselamatan yang sejati” yaitu pemenuhan kesadaran Allah didalam Kristus (God-consciousness in Christ). Tugas ini hanya dimiliki oleh gereja.
b.
Doktrin Tentang Allah
Schleiermacher
merasakan betapa pemahaman gereja tentang Allah yang “transcendent” dan
sekaligus juga “immanent” sukar dipahami sehingga terasa adanya “kekosongan”
sebab pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Jelas kita tidak mempunyai
pengetahuan obyektif tentang Allah. Kita dapat mengetahui Allah dalam hubungan
dengan diri kita sendiri, dalam perasaan kebergantungan yang mutlak kepadaNya
dan dalam hubungan dengan alam semesta. Allah adalah kekal, maha hadir, maha
kuasa dalam arti bahwa Ia dapat berbuat apa saja yang dikehendakiNya. Allah
adalah Pencipta dan mengetahui segala sesuatu. Schleiermacher berpendapat
pengalaman sejati dengan Allah dapat dialami melalui “feeling of absolute
dependency.” Yang dirumuskan sebagai suatu momentum pengalaman dengan Allah
yang manusia alami saat: (1) manusia secara tulus menyadari akan dosanya dan
rindu diperdamaikan dengan Allah dan (2) tidak terjerat lagi dengan
kedagingannya. “Perasaan ketergantungan mutlak kepada Allah” merupakan anugerah
umum (natural gift) dan satu-satunya sarana agar manusia dapat mempunyai
pengalaman yang sejati dengan Allah melalui “exercise feeling of absolute
dependency”, yaitu melatih kepekaan akan kehadiran dan ketergantungan pada
Allah melalui hati nurani yang tulus dan bersih. Saat manusia dihina dan dikhianati sesamanya,
misalnya, manusia mempunyai dua pilihan: (1) memakai feeling dan emosinya
melampiaskan kemarahan, kebencian dan pembalasan dendam, atau (2) memakai
“feeling of absolute dependency” untuk mencari hadirat Allah dengan mematikan
kebencian dan belajar mengasihi dan mengampuni dengan tulus hati. Cara kedua
ini akan memberikan manusia pengalaman sejati dengan Allah. Dua cara yang dapat
dipakai melatih kerja dan kepekaan dari “perasaan ketergantungan mutlak kepada
Allah”, yaitu (1) dengan “kesadaran akan dosa dan kehausan untuk diperdamaikan
dengan Allah” (consciousness of sin and redemption) sebagaimana contoh di atas;
dan (2) melalui “berdiam diri dan ketenangan” (quietness and tranquility) yaitu
pengalaman mistik dengan kehadiran Allah melalui meditasi. Schleiermacher
percaya bahwa pengalaman yang sejati dengan Allah juga ditandai dengan
munculnya perasaan “kehangatan kasih,” “spontanitas/tidak dibuat-buat,” dan
“keterlibatan pribadi secara penuh” yang dapat dialami jika manusia
mempraktekkan kasih secara tulus terhadap sesamanya. Pada saat manusia
benar-benar mengasihi sesamanya, ia akan merasa bahagia dan saat itu adalah
momen perjumpaan dengan Allah. Perbuatan kasih itu juga yang menyatukan seluruh
umat manusia di seluruh dunia, karena hanya melalui kesadaran akan realita
adanya “tali” (kehadiran Allah) yang menyatakan manusia dengan sesamanya, maka
itulah jalan untuk menemukan “the true individuality” (penemuan diri yang
seutuhnya) terbuka. Jadi ada hubungan yang erat antara “the true individuality”
(yang ditemukan melalui pengalaman kasih yang sejati) dan pengalaman dengan kehadiran
Allah dalam hidup manusia.
c.
Doktrin
Tentang Kristus
Yesus Kristus
adalah manusia unik sebab dikuasai kesadaran akan Allah yang belum pernah
dimiliki seorang manusiapun. KesempurnaanNya hanya mungkin karena kehadiran
Allah dalam diriNya sejak lahirnya, karena itu Kristus adalah manusia dan
Ilahi. Yesus Kristus adalah “the Archetypal of God-consciousness,” yaitu
manusia yang secara khusus disediakan Allah menjadi model bagaimana manusia
seharusnya menghidupi “kesadaran tentang Allah” secara tepat. Keselamatan yang
sejati bukan terjadi oleh karena iman kepada kematian Kristus yang menggantikan
kematian manusia, melainkan dalam pengalaman hidup dengan “kesadaran tentang
Allah” seperti Kristus, yang mungkin akan menuju pada puncak manifestasi
“kesadaran tentang Allah”, yaitu kerelaan mati sama seperti Kristus.
“Kesadaran tentang Allah” di dalam Kristus secara terus menerus memperluas otoritasnya dan membuktikan kekuatannya untuk membawa perdamaian dan kebahagiaan kepada manusia. Keselamatan dalam Kristus terjadi oleh karena ia dapat menjadi penebus manusia melalui jalan: (1) sharing atau mengambil bagian dalam setiap kondisi kehidupan manusia dimana pengalamannya bisa menjadi pengalaman kita, dan (2) assuming atau melibatkan manusia dengan kehidupan dalam “pengalaman kesadaran Yesus tentang Allah” yang sempurna sehingga menolong manusia mengambil bagian dalam pengalaman tersebut. Lebih lanjut, Schleiermacher memahami Roh Kudus sebagai kesadaran Allah dalam Yesus Kristus yang bekerja dalam persekutuan orang-orang percaya, yaitu Gereja Kristus.
Kita tidak perlu menurutnya, mempercayai doktrin tentang kebangkitan, kenaikan dan kedatanganNya kembali. Percaya akan doktrin-doktrin ini bukanlah unsur yang berdiri sendiri dalam iman asli kepada Yesus Kristus. Artinya, tidak perlu, demi kita dapat menerima Dia sebagai Penebus atau melihat keberadaan Allah di dalam diriNya, untuk kita tahu bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati dan naik ke Sorga atau Ia berjanji akan kembali untuk menghakimi. Schleiermacher percaya bahwa Yesus yang ideal ini cukup membuktikan Yesus yang historis itu dan ia tidak perlu melihat di balik kitab-kitab Injil guna mengukuhkan pandangan teologinya ini.
“Kesadaran tentang Allah” di dalam Kristus secara terus menerus memperluas otoritasnya dan membuktikan kekuatannya untuk membawa perdamaian dan kebahagiaan kepada manusia. Keselamatan dalam Kristus terjadi oleh karena ia dapat menjadi penebus manusia melalui jalan: (1) sharing atau mengambil bagian dalam setiap kondisi kehidupan manusia dimana pengalamannya bisa menjadi pengalaman kita, dan (2) assuming atau melibatkan manusia dengan kehidupan dalam “pengalaman kesadaran Yesus tentang Allah” yang sempurna sehingga menolong manusia mengambil bagian dalam pengalaman tersebut. Lebih lanjut, Schleiermacher memahami Roh Kudus sebagai kesadaran Allah dalam Yesus Kristus yang bekerja dalam persekutuan orang-orang percaya, yaitu Gereja Kristus.
Kita tidak perlu menurutnya, mempercayai doktrin tentang kebangkitan, kenaikan dan kedatanganNya kembali. Percaya akan doktrin-doktrin ini bukanlah unsur yang berdiri sendiri dalam iman asli kepada Yesus Kristus. Artinya, tidak perlu, demi kita dapat menerima Dia sebagai Penebus atau melihat keberadaan Allah di dalam diriNya, untuk kita tahu bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati dan naik ke Sorga atau Ia berjanji akan kembali untuk menghakimi. Schleiermacher percaya bahwa Yesus yang ideal ini cukup membuktikan Yesus yang historis itu dan ia tidak perlu melihat di balik kitab-kitab Injil guna mengukuhkan pandangan teologinya ini.
d.
Doktrin
Tentang Dosa dan Penebusan
Pada mulanya dunia dan manusia yang diciptakan
Allah adalah baik. Dosa adalah kebergantungan manusia pada dirinya sendiri dan
mencari kepuasan bagi dirinya dan bukan kepada Allah. Dosa bukan semata-mata
berasal dari tindakan individual tetapi sesuatu kecenderungan yang tidak dapat
dilepaskan dari seluruh manusia. Manusia berdosa karena dosa asal (sinful
nature) yang bercampur dengan kuasa kedagingan dalam diri manusia sedemikian
kuat sebelum kesadaran rohaninya berkembang (spiritual consciousness have
developed). Keinginan baik manusia dilumpuhkan oleh kuasa kedagingannya.
Setiap individu tidak mungkin dapat benar-benar mengenal Allah tanpa penebusan Kristus. Dalam ketakutan terhadap penghakiman Allah, terjadilah pengalaman penebusan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana penciptaanNya. Dalam penebusan nampaklah kasih dan hikmah Allah. Penebusan itu hanyalah melalui anugerah dalam Yesus Kristus dan bahwa dalam Yesus Kristus manusia mencapai hakekat kemanusiaannya.
Karena Yesus Kristus adalah manusia yang sempurna, maka hal itu memungkinkan manusia untuk bersekutu dengan Dia dan dosa dalam mereka dikalahkan oleh kesadaran tentang Allah yang sedang bekerja dalam mereka. Jelas Yesus Kristus tidak datang untuk menebus dosa kita tetapi untuk menjadi guru kita, menjadi teladan kita. Karya keselamatanNya pada hakikatnya dimaksudkan untuk membangkitkan di dalam diri kita kesadaran ini, yang di dalam diri kita terselubung dan tak berdaya, sehingga di dalam Yesus Kristus ia sempurna setiap saat. Kesadaran ini dibuatnya menjadi “suatu kehadiran yang terus menerus hidup, malah suatu keberadaan yang sungguh-sungguh dari Allah di dalam diriNya”. ia berbeda dari manusia lain hanya karena pada hakikatnya Kristus tanpa dosa dan sempurna sepenuhnya.
Setiap individu tidak mungkin dapat benar-benar mengenal Allah tanpa penebusan Kristus. Dalam ketakutan terhadap penghakiman Allah, terjadilah pengalaman penebusan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana penciptaanNya. Dalam penebusan nampaklah kasih dan hikmah Allah. Penebusan itu hanyalah melalui anugerah dalam Yesus Kristus dan bahwa dalam Yesus Kristus manusia mencapai hakekat kemanusiaannya.
Karena Yesus Kristus adalah manusia yang sempurna, maka hal itu memungkinkan manusia untuk bersekutu dengan Dia dan dosa dalam mereka dikalahkan oleh kesadaran tentang Allah yang sedang bekerja dalam mereka. Jelas Yesus Kristus tidak datang untuk menebus dosa kita tetapi untuk menjadi guru kita, menjadi teladan kita. Karya keselamatanNya pada hakikatnya dimaksudkan untuk membangkitkan di dalam diri kita kesadaran ini, yang di dalam diri kita terselubung dan tak berdaya, sehingga di dalam Yesus Kristus ia sempurna setiap saat. Kesadaran ini dibuatnya menjadi “suatu kehadiran yang terus menerus hidup, malah suatu keberadaan yang sungguh-sungguh dari Allah di dalam diriNya”. ia berbeda dari manusia lain hanya karena pada hakikatnya Kristus tanpa dosa dan sempurna sepenuhnya.
e.
Doktrin
Tentang Al-Kitab
Berdasarkan pengalaman batiniah ini dapat dibuat
doktrin-doktrin Kristen yang statusnya bersifat sekunder. Karenanya
doktrin-doktrin Kristen dimengerti sebagai laporan tentang perasaan-perasaan
keagamaan Kristen dalam bentuk perkataan. Pernyataan-pernyataan tentang
sifat-sifat Allah, misalnya, bukan mengenai Allah sendiri, tetapi mengenai cara
bagaimana perasaan ketergantungan kita yang mutlak harus dihubungkan dengan
Dia. Alkitab lebih diperlakukan sebagai riwayat pengalaman religius manusia
daripada sebagai penyataan dari Allah ataupun riwayat tentang tindakan-tindakan
Allah dalam sejarah. Teologi karenanya harus sesuai bukan dengan doktrin
Perjanjian Baru melainkan dengan pengalaman-pengalaman yang dicatat dalam
Perjanjian Baru.
C.
Karya-karya Schleiermacher
Pada
tahun 1804, dia kembali ke Halle sebagai seorang profesor. Tetapi peperangan
Napoleon mengharuskannya untuk berdiam di Berlin, sebab perjanjian perdamaian
Peace of Tilsit memutuskan hubungan Halle dari wilayah-wilayah Prusia lainnya.
Di Berlin, Schleiermacher meneguhkan dirinya sebagai salah seorang dari tokoh
intelektual terkemuka dari negaranya. Dia memainkan peranan terpenting dalam
pembentukan Universitas Berlin tahun 1810 dan memimpin fakultas teologinya.
Tetapi teologi bukan satu-satunya minatnya.
Beberapa
jilid terjemahan dari Plato yang dikerjakannya untuk waktu yang lama, menjadi
edisi baku di Jerman. Aliran karangan atau tulisan-tulisan yang dipelajari
terus-menerus mengalir dari penanya, banyak di antaranya mula-mula muncul dalam
bentuk naskah-naskah yang dipersembahkan kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Prusia
(Prussian Academy of Sciences). Selama waktu itu, Schleiermacher melayani
secara tetap di Trinity Church yang moderat di Berlin.
Karya-karya
Schleiermacher yang dikumpulkan di Jerman setelah ia meninggal terdiri dari
tiga puluh jilid (hampir terbagi rata antara khotbah-khotbah, tulisan-tulisan
teologis, dan tulisan-tulisan filsafat). Ini semua mencakup sebuah buku
berjudul "Life Of Jesus". Karya yang paling penting di antara semuanya
adalah sebuah buku yang berusaha memaparkan secara sistematis pendekatan baru
Schleiermacher terhadap kekristenan, "The Christian Faith" (1821-22,
1830-31/2).
Refleksi: Menjadi saleh dan penuh hikmat, Teologi Schleiermacher patut
diapresiasi dan dikritisi dengan cermat sehingga kita dapat menarik manfaat
dari teologinya dan bagaimana seharusnya menghadapi ketegangan sebagai manusia
yang beriman/saleh dan sekaligus rasional.
Pertama. Penulis dapat mengerti dan memahami bahwa pemikiran
teologi Schleiermacher tentang “feeling of absolute dependency” atau “perasaan
ketergantungan mutlak kepada Allah” muncul sebagai jawaban terhadap pengaruh
rasionalitas yang mempertanyakan arti dan makna kekristenan dalam hidup manusia
modern. Memang dengan teologi ini, seseorang dapat secara bebas meningkatkan
kemampuan menafsirkan Alkitab sesuai dengan pengalaman imannya dan tidak lagi
terbelenggu dalam doktrin-doktrin Kristen yang ketat. Yesus Kristus menjadi
lebih dipahami secara personal, karena “perasaan ketergantungan mutlak” untuk
mengalami kehadiran Allah sama seperti Kristus sehingga orang dapat terhindar
dari bahaya kemunafikan dan legalisme. Walaupun kelihatannya baik dan positip,
teologi ini berbahaya sebab fungsi dan peranan Alkitab berada di bawah
pengalaman manusia sehingga Alkitab kehilangan kontrolnya atas hidup manusia.
Jelas saya menolak teologi ini jika pada akhirnya kewibawaan Alkitab berada di
bawah otoritas manusia yang sewenang-wenang dengan akal budinya tanpa perlu
mengandalkan bimbingan kuasa Roh Kudus.
Kedua. Akibat keinginan kuat untuk menyelaraskan iman dan akal,
Schleiermacher telah membongkar total doktrin Trinitas dan karya keselamatan
Allah dalam Yesus bagi manusia. Teologinya tidak lagi berakar pada sumber
Alkitab yang berwibawa melainkan pada pengalaman batin manusia yang tentunya
telah dikuasai dosa sebagaimana dicatat dalam surat Roma 7:18, 20 “sebab Aku
tahu bahwa di dalam aku , yaitu di dalam aku sebagai manusia tidak ada sesuatu
yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa
yang baik … Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki , maka bukan
lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku”. Untuk dapat
memahami Allah dalam kekristenan letaknya bukan pada perasaan manusia dan juga
bukan pada kepandaiannya melainkan pada kesatuan hati, jiwa dan akal budi
manusia dalam melakukan kehedak Allah. (Matius 22:37-40) Dapat dikatakan bahwa
dalam hal ini teologi Schleiermacher telah menjadi antropologi sebab pemahaman
tentang Allah, Yesus dan Roh Kudus sama sekali berbeda dan bertolak belakang
dengan kesaksian Alkitab. Jadi saya menolak jika teologi hanya berisi
pengalaman-pengalaman manusia yang mutlak tentang Allah.
Ketiga. Schleiermacher sama sekali tidak memberi tempat khusus pada fakta salib dan pengharapan kebangkitan Kristus yang merupakan dasar utama kesaksian Perjanjian Baru. Tanpa fakta kematian dan kebangkitan Kristus, maka sia-sialah kepercayaan kita kepada Yesus dan berarti kita masih hidup di dalam dosa (Lihat. 1 Kor. 15:17) Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan dua fakta iman yang saling terkait erat sehingga kita mengimaninya sebagai kejadian historis yang membuat kita berpengharapan serta menjamin kebangkitan kita pada akhir jaman. Saya menolak tegas jika Kekristenan tidak berbicara tentang Salib dan kebangkitan Kristus sebab inilah hakikat utama hidup kekristenan yang kita jalani selama ini berdasarkan kesaksian Alkitab.
Ketiga. Schleiermacher sama sekali tidak memberi tempat khusus pada fakta salib dan pengharapan kebangkitan Kristus yang merupakan dasar utama kesaksian Perjanjian Baru. Tanpa fakta kematian dan kebangkitan Kristus, maka sia-sialah kepercayaan kita kepada Yesus dan berarti kita masih hidup di dalam dosa (Lihat. 1 Kor. 15:17) Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan dua fakta iman yang saling terkait erat sehingga kita mengimaninya sebagai kejadian historis yang membuat kita berpengharapan serta menjamin kebangkitan kita pada akhir jaman. Saya menolak tegas jika Kekristenan tidak berbicara tentang Salib dan kebangkitan Kristus sebab inilah hakikat utama hidup kekristenan yang kita jalani selama ini berdasarkan kesaksian Alkitab.
Keempat,
Schleiermacher dengan tegas mengatakan kesempurnaan Yesus dalam “pengalaman
kesadaran tentang Allah” telah menempatkan Kekristenan sebagai agama terbaik
atau agama paling tertinggi dibandingkan agama-agama lainnya. Pandangan
Schleiermacher ini merupakan keyakinan imannya tentang arti kekristenan dalam
hidup manusia dan menurut saya patut dicontoh oleh umat Kristen di Indonesia
agar kita sebagai umat kristiani tetap setia dan teguh dalam mengimani dan
mengikuti Yesus. Secara pribadi, saya pun pasti menempatkan Yesus dan
kekristenan sebagai yang utama dibanding agama dan kepercayaan lainnya. Sikap
eksklusif semacam ini dapat dibenarkan dan turut meneguhkan komitmen iman
kristiani kita dalam mengikut Yesus serta mempraktekkan kasih Allah kepada
sesama. Sikap eksklusif ini bukan berarti sikap bermusuhan terhadap penganut
agama dan keyakinan lain. Sikap eksklusif harus juga dibarengi dengan sikap
keterbukaan terhadap umat beragama lain sebagai saudara-saudari yang diciptakan
Allah Bapa. Jadi, kita harus dapat membangun dialog, toleransi dan kerukunan
dalam masyarakat majemuk tanpa kehilangan identitas kristiani kita. Sebagai Gereja, tentunya dalam berinteraksi
dengan mereka yang berbeda keyakinan kita harus saling mendengar dan menghargai
semua pendapat dari pelbagai keyakinan yang ada agar dapat diperoleh saling
pengertian yang mendalam guna menangani masalah bersama bangsa ini, seperti
penanggulangan kemiskinan atau bencana alam. Bersama seluruh komponen bangsa,
kita berusaha mencegah konflik horisontal yang hanya mengakibatkan penderitaan
dan hancurnya peradaban bangsa kita dan memajukan keadilan dan kedamaian demi
kemanusiaan yang bermartabat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Schleiermacher berusaha mencari
sintesa antara kesalehan dan rasionalitas dengan menawarkan pemikiran teologi
tentang “ketergantungan mutlak kepada Allah” di mana perasaan batiniah manusia
menjadi pokok utamanya. Dengan cara ini manusia rasional dapat menghayati
Kekristenan sebagai agama yang dapat memberikan jawaban dan menjadi agama
terbaik di antara semua agama yang ada;
2. Dalam pengalaman batiniah itu,
manusia dapat mengetahui sifat-sifat Allah dan menjalin hubungan yang harmonis
dengan Allah melalui hati nurani yang tulus dan bersih serta praktek kasih
terhadap sesama manusia; dan
3. Yesus menjadi model yang disediakan
Allah tentang bagaimana seharusnya menghidupi “ketergantungan mutlak kepada
Allah,” sehingga tugas Yesus bukan menebus dosa manusia melainkan sebagai guru
dan teladan kita.
Dengan mencermati semua pemikiran teologi Schleiermacher,
saya berpendapat bahwa teologi semacam ini tidak dibutuhkan sebab dapat
mengakibatkan keresahan bagi warga jemaat kita dan dapat merusak teologi
Gereja. Teologi Schleiermacher ini hanya cocok dan tepat bagi masyarakat Barat
yang rasional dan individual dan hanya bermanfaat memperkaya pengetahuan dan
wawasan teologi kita. Pelajaran positif
yang dapat kita terima bahwa kita pada waktunya pasti menghadapi masalah tentang
sejauh mana doktrin Alkitab dan teologi Gereja dapat dipahami oleh manusia yang
rasional (warga jemaat) karena perkembangan dan kemajuan iptek. Menghadapi
rasionalisme di kalangan warga jemaat, Gereja harus bersungguh-sungguh dalam
tugasnya, seperti penelaahan Alkitab dan pembinaan iman. Selain itu penting,
Gereja melibatkan warga jemaatnya untuk terlibat dan mengambil prakarsa dalam
aksi kemanusiaan dan mengembangkan sikap dialogis terhadap umat beragama
lainnya dalam tingkat nasional dan regional.
Indonesia
(ed. Eka Darmaputera;
Jakarta: Gunung Mulia, 1991), 14. Di dalam kekristenan mitos biasa
disebut
doktrin atau teologi dan ritus disebut liturgi. Di dalam makalah ini doktrin
dan teologi adalah
sinonim.
(Maryknoll:
Orbis, 1997) yang mengamati metode berteologi teolog-teolog kontemporer. Bagi
dia karena
teologi
adalah suatu studi sistematik terhadap penyataan (revelation) maka metode berteologi berkaitan
dengan
penyataan, apa yang dinyatakan, bagaimana kita memverifikasi klaim-klaim
penyataan tersebut
(lihat ibid. 42).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar