BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Rasm Al-Qur’an
Yang
dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata
cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola
penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya
ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm
Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan
Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para
ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
a.
Al-Hadz
(membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan huruf
alif pada
ya’nida’
, dari ha tanbih, pada lafaz
jalalah dan
kata na
b.
Al-Jiyadah
(penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mampunyai
hukum jama’ (
) dan menambah huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas
tulisan wawu
(
).
c.
Al-Hazmah,
salah satu kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis
dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan ( )
dan U’tumin ( ).
d.
Badal
(pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan kepada
kata
.
e.
Washal dan
fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma
ditulis dengan disambung
(
).
f.
Kata yang
dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan
dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf Utsmani, penulisan kata semacam
itu ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga
dengan hanya menurut buyi harakat (yakni dibaca satu alif).
B.
Pola, Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan
rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan
petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumbur ulama
berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis
wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola
penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat
tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak dan restu Nabi
Sekelompok
ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak
bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan
riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat
Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip
oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis
Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula
melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
Beberapa
orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa
Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri
oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal
beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa
Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu :
“Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”,
bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz
“Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz
“Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan
selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat
mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia
mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang
mengatakan sebagai berikut :
“Tidak
seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi
atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk
dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka
(para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk
tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak
dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”.
Lagi pula,
seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm
‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak
mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat,
baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari
Nabi.
Dengan
demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani
diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan
walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan.
Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis
Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan
kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang
tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada
masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i).
Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan
rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan
itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
C.
Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada mulanya
mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu
Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk
kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi
sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan
tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol
tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti
diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai
tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang,
dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan
antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan
mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti
Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non
Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika
Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan
(661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali
memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang
fatal, yaitu : ان الله برئ من المشركين ورسولُه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu
ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
ان الله برئ
من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Dawali
memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf (ﹿ), sebuah titik di bawah huruf
( ) sebagai tana baris bawah
(kasrah),k tanda dhammah ben pa wawu kecil
( ) diantara dua huruf, dan tanpa apa-apa
lagi huruf konsonan mati.
Selanjutnya
rams mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan
Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an
(nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya
ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi
titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan
yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal ( ) maka
menjadi huruf dzal ( ). Dari pola penulisan tersebut
akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti
pola kufi, maghribi, naqsh, dll.
D.
Kekeliruan Penulisan
Mengenai
mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika
dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan
inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid
al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu mengenal dengan baik seni khath
dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan,
kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman
sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh
Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau
melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya
aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan :
“Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu
ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu akan
diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak dilakukan.
Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli
kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan
para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti diatas, Ali bin Abi Thalib
A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat diotak-ataik dan diubah-ubah.
E.
Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun
mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan
pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun
demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan
penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya
tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris
harakat. Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi
pembacaan Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab.
Namun bagi mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan
bacaan-bacaan yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris
barakat.
Dengan
demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an sangat erat. Karena
semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan
untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan
kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam
membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong
mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an
tersebut .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar