BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Hadits adalah sumber hukum kedua setelah
Kitabulloh, Al-Qur’an. Posisi penting ini didudukinya tak lain karena fungsinya
sebagai penjelas, perinci, dan petunjuk penerapan Al-Qur’an dan kehidupan
sehari-hari. Ibarat dua saudara kandung, Al-Qur’an dan hadits tidak bisa
dipisah-pisahkan. Bahkan keduanya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama
lainnya. Karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa pengamalan hadits
merupakan bentuk kethoatan kepada Allah ta’ala.
Sebelum merealisasikan bentuk kethoatan kepada
Allah yang satu ini, setiap muslim perlu mengenali terlebih dahulu derajat
suatu hadits. Secara global hadits dibagi menjadi dua, shohih dan dha’if. Jika
suatu hadits shohih, maka tidak dipermasalahkan dalam hal pengamalannya, namun
yang menjadi masalah disini adalah bagaimana bila hadits itu dha’if? Apakah
bisa diamalkan seperti halnya shohih? Apa pendapat ulama dalam menyikapi hal
ini?
Karena hal-hal itulah, penulis tertulis untuk
mengadakan kajian seputar hadits dha’if sekaligus mencari dengan seksama
pendapat ulama tentang pengamalan hadits dhaif.
1.2Rumusan Masalah
1.
Pengertian Hadist Dhoif
2.
Kriteria dan Pembagian Hadist Dhoif
3.
Kehujahan Hadist Dhoif
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadist Mursal.
Secara istilah, hadits mursal berarti hadits
yang di akhir sanad yaitu di atas tabi’in terputus. Bentuknya adalah seperti
tabi’in senior atau jenior berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda demikian atau melakukan demikian.
Contohnya dapat kita lihat dalam tafsir Al
Qu’ran Al ‘Azhim, Ibnu Katsir membawakan perkataan Al Hasan Al Bashri. Al Hasan
mengatakan bahwa ketika turun surat Alam Nasyroh ayat 5-6, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أبْشِرُوا
أتاكُمُ اليُسْرُ، لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Kabarkanlah bahwa akan datang pada kalian
kemudahan. Karena satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”
Lihatlah dalam riwayat ini Al Hasan Al Bashri langsung mengatakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tanpa beliau membawakan perkataan
sahabat.[1]
Inilah contoh hadits mursal menurut ulama pakar
hadits. Sedangkan menurut ulama fiqh dan ushul, hadits mursal itu lebih umum.
Pokoknya segala hadits yang terputus sanadnya di posisi mana saja disebut
hadits mursal menurut mereka.
2.2 Hukum Asal
Hadits Mursal
Asalnya hadits mursal adalah hadits mardud
(hadits yang tertolak) dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu syarat hadits maqbul
(yang diterima) yaitu terputusnya sanad. Akibat terputusnya sanad ini, akhirnya
perowi yang terhapus tidak diketahui keadaannya, boleh jadi yang dihapus adalah
selain sahabat. Dari sisi ini, kita katakan bahwa asal hadits mursal adalah dhoi’f
(lemah).
Namun sebagian ulama berpandangan bahwa perowi
yang biasa dihapus dalam hadits mursal adalah sahabat. Para ulama sudah
menyatakan bahwa seluruh sahabat termasuk ‘adl (sholeh, bukan
fasiq). Sehingga tidak mengapa tidak diketahui keadaan mereka. Dari sinilah
lantas terjadi silang pendapat apakah hadits mursal bisa dijadikan hujjah
ataukah tidak.[2]
Apakah Hadits Mursal Bisa Menjadi Hujjah?
Mengenai masalah ini, terjadi silang pendapat
di antara para ulama.
Pendapat pertama: Hadits mursal
adalah hadits dho’if dan tertolak.
Yang berpendapat seperti ini adalah mayoritas
ulama pakar hadits, serta kebanyakan ulama ushul dan fiqh. Alasan mereka karena
dalam hadits mursal terdapat jahalah perowi (ada perowi yang tidak
diketahui keadaannya), boleh jadi yang terhapus adalah selain sahabat.
Pendapat kedua: Hadits mursal
adalah hadits shahih, bisa dijadikan hujjah.
Yang berpendapat seperti ini adalah tiga ulama
madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad) dan juga sekelompok ulama
lainnya. Namun mereka memberi syarat, tabi’in yang meriwayatkan hadits mursal
harus tsiqoh (terpercaya), sehingga ia tidak meriwayatkan selain dari yang
tsiqoh. Hujjah mereka adalah bahwa tabi’in yang tsiqoh mustahil ia katakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian,
kecuali ia mendengarnya dari yang tsiqoh pula.
Pendapat ketiga: Hadits mursal
bisa diterima dengan memenuhi syarat.
Inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan
ulama lainnya.
Syarat yang harus dipenuhi ada empat. Tiga
syarat berkaitan dengan perowi dan satu syarat berkaitan dengan hadits
mursalnya. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
- Yang meriwayatkan hadits mursal adalah tabi’in senior (bukan junior).
- Tabi’in tersebut dikatakan tsiqoh oleh orang yang meriwayatkannya.
- Didukung oleh pakar hadits terpercaya lainnya yang tidak menyelisihinya.
- Hadits mursal tersebut didukung oleh salah satu dari: (1) hadits musnad, (2) hadits mursal lain, (3) bersesuaian dengan perkataan sahabat, atau (4) fatwa mayoritas ulama.[3]
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini
adalah yang merinci sebagaimana pendapat ketiga yang dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i. Inilah yang rojih menurut penulis.
Mengenai Mursal Sahabat
Hadits mursal shohabi (sahabat) adalah
hadits yang sahabat mengatakan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
demikian atau melakukan demikian. Namun sahabat ini tidak mendengarnya atau
menyaksikannya langsung dikarenakan usianya yang masih belia, terakhir masuk
Islam atau ia tidak ada ketika hadits tersebut diucapkan. Contoh hadits mursal
shohabi adalah perkataan sahabat junior yang mengatakan bahwa Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda demikian, misalnya dari Ibnu ‘Abbas atau Ibnuz
Zubair.
Hadits mursal shohabi sendiri bisa dijadikan
hujjah menurut mayoritas ulama. Jadi, mursal shohabi adalah hadits yang
shahih. Karena yang biasa terjadi pada mursal sahabat adalah sahabat junior
menerimanya dari sahabat lainnya yang mungkin lebih senior dan jarang sekali ia
menerimanya dari tabi’in. Jika ia menerimanya dari tabi’in, pasti ia akan
menjelaskannya. Namun jika tidak ia sebutkan hukum asalnya adalah mursal
sahabat berasal dari sahabat lainnya.
Sedangkan pendapat yang menyatakan mursal
sahabat tidak bisa dijadikan hujjah adalah pendapat yang begitu lemah. Yang
benar adalah pendapat pertama di atas.
2.3. Pengertian Hadits Dha’if
Menurut pendekatan etimologi kata “dha’if” berarti yang lemah,
sebagai lawan dari kata “qawy” yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, maka
kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Oleh karena itu sebutan hadits
dha’if menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yang sakit, atau yang tidak
kuat.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib menegaskan hadits dha’if sering didefinisikan oleh ahli hadits sebagai hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits yang dapat diterima. Mayoritas ulama menyatakan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.[4]
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib menegaskan hadits dha’if sering didefinisikan oleh ahli hadits sebagai hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits yang dapat diterima. Mayoritas ulama menyatakan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.[4]
Ibnu Katsir mendefinisikan hadits dha’if adalah :
مَالَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ، وَلاَ صِفَاتُ الْحَسَنِ.
Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat hadits shahih dan hadits hasan.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits dha’if adalah :
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ.
Setiap hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat makbul (sifat-sifat yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih dan hasan). Karena yang shahih maupun yang hasan keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul.
Dalam istilah ilmu hadits Fatchur Rahman menta’rifkan hadits dha’if adalah :
مَا فَقِدَ شَرْطًا أَوْاَكْثَرَمِنْ شُرُوْطِ الْحَسَنِ.
“Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya suatu hadits itu dianggap dha’if selama belum dapat dibuktikan keshahihan atau kehasanannya. Sebab yang diharuskan di sini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah hadits shahih dna hadits hasan, bukan hadits dha’if.
2.4. Kriteria dan Pembagian Hadits Dha’if
Dari segi diterimanya atau tidak suatu hadits untuk dijadikan
hujjah, maka hadits itu pada prinsipnya terbagi dua, yaitu hadits maqbul dan
hadits mardud. Yang termasuk hadits maqbul adalah hadits shahih dan hadits
hasan, sedang yang termasuk hadits mardud adalah hadits dha’if.
Para muhadditsin menegaskan bahwa tertolaknya suatu hadits dapat
dilihat dari dua aspek, pertama dari segi sanad dan kedua dari segi matannya.[5]
1).Dha’if karena sanadnya
Kalau hadits itu disebabkan sanadnya, maka :
Pertama : Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang
keadilannya maupun hafalannya.
Kedua : Ketidak bersambung-sambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Kedua : Ketidak bersambung-sambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Hadits dha’if itu memang bermacam-macam, dan mempunyai perbedaan
derajat antara satu dengan yang lainnya, karena banyak atau sedikitnya
syarat-syarat atau hadits shahih atau hasan yang dapat dipenuhinya. Sehingga
Al-Iraqy membagi hadits dha’if menjadi 42 macam dan sebagian ulama yang lain,
membaginya menjadi 129 macam.
Kalau hadits dha’if itu cacat pada keadilan dan kedla’bithan
rawinya, maka terbagi beberapa macam :
1. Hadits dha’if karena rawinya pendusta disebut hadits maudlu’ ;
2. Hadits dha’if karena rawinya tertuduh pendusta disebut hadits matruk ;
3. Hadits dha’if karena rawinya fasiq disebut hadits munkar ;
4. Hadits dha’if karena rawinya banyak purbasangka disebut hadits mu’allal ;
5. Hadits dha’if karena rawinya menyalahi riwayat orang kepercayaan disebut hadits mudraj ;
6. Hadits dha’if karena rawinya bodoh disebut hadits mubham ;
7. Hadits dha’if karena rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud ;
8. Hadits dha’if karena rawinya tidak kuat hafalannya disebut hadits syadz dan mukhtalith ;
1. Hadits dha’if karena rawinya pendusta disebut hadits maudlu’ ;
2. Hadits dha’if karena rawinya tertuduh pendusta disebut hadits matruk ;
3. Hadits dha’if karena rawinya fasiq disebut hadits munkar ;
4. Hadits dha’if karena rawinya banyak purbasangka disebut hadits mu’allal ;
5. Hadits dha’if karena rawinya menyalahi riwayat orang kepercayaan disebut hadits mudraj ;
6. Hadits dha’if karena rawinya bodoh disebut hadits mubham ;
7. Hadits dha’if karena rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud ;
8. Hadits dha’if karena rawinya tidak kuat hafalannya disebut hadits syadz dan mukhtalith ;
Kemudian apabila hadit dha’if itu karena sanadnya tidak bersambung, maka terbagi kepada :
1. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu’allaq ;
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) maka disebut hadits mursal ;
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih, dan berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak berturut-turut maka disebut hadits munqathi.
2) Dha’if dari sandaran matannya
Hadits dha’if yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan,
ialah:
a. Hadits mauquf
a. Hadits mauquf
Kata mauquf berasal dari kata waqafa, yaqifu, secara lughat artinya
yang dihentikan atau yang diwaqafkan. Maka hadits mauquf dalam pengertian ini
berarti hadits yang dihentikan. Sedangkan secara istilah pengertian hadits
mauquf ialah :
“Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya”.
Pengertian lain menyebutkan :
Pengertian lain menyebutkan :
“Hadits lain yang disandarkan kepada sahabat”. Dengan kata lain
bahwa hadits mauquf adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir sahabat. Dikatakan
mauquf, karena sandarannya kepada sahabat, artinya terhenti pada sahabat, bukan
pada Rasulullah SAW.
b. Hadits Maqthu’
Kata maqthu’ diambil dari kata qatha’, yaqtha’u, menurut bahasa
berarti yang dipotong, maka hadits maqthu’ berarti hadits yang dipotong, yaitu
dipotong sandarannya hanya pada tabi’in. Secara terminologis hadits maqthu’
diartikan sebagai berikut :
“Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya”. Hadits seperti ini disebut hadits maqthu’, karena tidak ditemukan adanya qarinah atau kaitan yang menunjukkan bahwa hadits ini disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
“Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya”. Hadits seperti ini disebut hadits maqthu’, karena tidak ditemukan adanya qarinah atau kaitan yang menunjukkan bahwa hadits ini disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
3) Dha’if dari sudut matannya
Hadits-hadits yang tergolong dha’if dari sudut matannya saja ialah
hadits syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau
terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan kandungan
hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat kepercayaannya.
4) Dha’if dari salah satu sudutnya (sanad atau matan) secara bergantian.
4) Dha’if dari salah satu sudutnya (sanad atau matan) secara bergantian.
Yang dimaksudkan dengan bergantian disini ialah kedha’fan tersebut
kadang-kadang terjadi pada sanad, dan kadang-kadang pada matannya. Di antara
hadits-hadits yang termasuk kategori ini ialah hadits maqlub, hadits mudraj,
dan hadits mushahaf.
a.
Hadits
maqlub (diputar balikkan)
Yang dimaksud hadits maqlub ialah memutar balikkan (mendahulukan)
kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan
kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
b. Hadits mudraj (disisipkan)
b. Hadits mudraj (disisipkan)
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat
sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa
penafsiran perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata
tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
c. Hadits mushahaf
c. Hadits mushahaf
Yang dimaksud hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat
beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau
pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud
semula.
2.5 . Kehujjahan Hadits Dha’if
Segenap ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa tidak boleh
sekali-kali kita menggunakan atau mengamalkan hadits dha’if untuk menetapkan
suatu hukum, segenap bentuk hukum, hukum halal, hukum haram, hukum berjual
beli, hukum pernikahan, hukum thalak dan lain-lain. Namun mereka berbeda
pendapat tentang mengamalkan hadits dha’if untuk keutamaan amal (fadhilatul
amal), untuk targhib (menggemarkan) dan untuk tarhib (memberikan khabar
ancaman).
1. Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu Araby menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.[6]
1. Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu Araby menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.[6]
2. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar
Al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan)
hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’il amal), dengan syarat:
a. Para perawi yang meriwayatkan hadits itu tidak terlalu lemah;
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits shahih;
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits shahih;
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa sebagian ulama membolehkan
mengamalkan hadits dha’if untuk fadhilatul ‘amal. Hal ini sejalan dengan
ungkapan tiga orang ulama hadits yang terkenal, yaitu Imam Ahmad bin Hambal,
Abdurrahman bin Mahdi dan Abdullah bin Al-Mubarak. Diriwayatkan dari mereka :
“Apabila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami memperketat, dan kalau
kami meriwayatkan tentang keutamaan-keutamaan dan semisalnya, kami mempermudah”.
Maksud ungkapan di atas, apabila mereka meriwayatkan tentang halal dan haram mereka bersifat keras, sehingga hanya mau menggunakan hujjah dengan hadits yang paling tinggi derajatnya, yang dimasa mereka disepakati dengan sebutan “shahih”. Jika mereka meriwayatkan tentang keutamaan-keutamaan dan semisalnya, yakni hal-hal yang tidak bersinggungan dengan halal dan haram, mereka tidak memandang perlu bersifat keras dan membatasi periwayatan hanya pada yang shahih.
Sebagian ulama memang membolehkan menggunakan hadits dha’if sepanjang tidak berhubungan dengan persoalan akidah dan hukum. Al-Mundziri misalnya dalam mukaddimah buku At-Targhib wa at-Tarhib mengatakan : Para ulama membiarkan praktek meringankan persyaratan hadits yang menyangkut soal targhib dan tarhib, sehingga banyak dari mereka menyebutkan hadits maudhu’ tanpa menjelaskan mengenai hal itu.
Maksud ungkapan di atas, apabila mereka meriwayatkan tentang halal dan haram mereka bersifat keras, sehingga hanya mau menggunakan hujjah dengan hadits yang paling tinggi derajatnya, yang dimasa mereka disepakati dengan sebutan “shahih”. Jika mereka meriwayatkan tentang keutamaan-keutamaan dan semisalnya, yakni hal-hal yang tidak bersinggungan dengan halal dan haram, mereka tidak memandang perlu bersifat keras dan membatasi periwayatan hanya pada yang shahih.
Sebagian ulama memang membolehkan menggunakan hadits dha’if sepanjang tidak berhubungan dengan persoalan akidah dan hukum. Al-Mundziri misalnya dalam mukaddimah buku At-Targhib wa at-Tarhib mengatakan : Para ulama membiarkan praktek meringankan persyaratan hadits yang menyangkut soal targhib dan tarhib, sehingga banyak dari mereka menyebutkan hadits maudhu’ tanpa menjelaskan mengenai hal itu.
Begitu pula dengan Zakaria Al-Ambariy, ia berpendapat suatu hadits
apabila tidak mengharamkan sesuatu, tidak menghalalkan, dan tidak mendatangkan
hukum tertentu, atau ia hanya berhubungan dengan suatu anjuran atau larangan,
atau sesuatu yang memudahkan atau menyulitkan, maka kita harus memicingkan mata
terhadapnya, dan mempermudah persyaratan tentang para perawinya.
Dari segi lain, sebagian ulama sangat berhati-hati terhadap hadits dha’if yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, meskipun berkaitan dengan fadhilatul ‘amal karena ada sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
Dari segi lain, sebagian ulama sangat berhati-hati terhadap hadits dha’if yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, meskipun berkaitan dengan fadhilatul ‘amal karena ada sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم : مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّ
Artinya :
Barang siapa dengan sengaja, berdusta tentang diriku, maka
hendaknya memasuki tempatnya di neraka.
Kehati-hatian terhadap hadits dha’if juga dilakukan oleh Ibnu Hajar, beliau memberikan tiga macam persyaratan diterimanya periwayatan yang lemah dalam hadits raqaiq dan targhib, yaitu :
Pertama, syarat yang disepakati oleh para ahli, kelemahan tersebut tidak berlebihan. Oleh karena itu harus ditolak periwayatan tunggal dari orang-orang yang memang di kenal sebagai pembohong, atau yang dicurigai sebagai pembohong ataupun yang dikenal hafalannya sangat lemah.
Kedua, makna dari hadits tersebut masih dapat digolongkan dalam suatu tema dasar umum yang diakui. Maka harus ditolak setiap hadits yang hanya dibuat begitu saja, dan tidak ada argumentasinya sama sekali.
Ketiga, pada saat penerapannya, haruslah tidak diyakini bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW, agar tidak terjadi penisbahan suatu ucapan kepada beliau, padahal nabi tidak pernah mengucapkannya.
Selain syarat di atas, Yusuf Qardhawi menambahkan dua syarat lagi, yaitu : Pertama, hadits itu tidak mengandung hal-hal yang amat dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan, sehingga ditolak oleh akal, syariat, atau bahasa. Kedua, hadits tersebut tidak bertentangan dengan suatu dalil syar’I lainnya yang lebih kuat daripadanya.
Kehati-hatian terhadap hadits dha’if juga dilakukan oleh Ibnu Hajar, beliau memberikan tiga macam persyaratan diterimanya periwayatan yang lemah dalam hadits raqaiq dan targhib, yaitu :
Pertama, syarat yang disepakati oleh para ahli, kelemahan tersebut tidak berlebihan. Oleh karena itu harus ditolak periwayatan tunggal dari orang-orang yang memang di kenal sebagai pembohong, atau yang dicurigai sebagai pembohong ataupun yang dikenal hafalannya sangat lemah.
Kedua, makna dari hadits tersebut masih dapat digolongkan dalam suatu tema dasar umum yang diakui. Maka harus ditolak setiap hadits yang hanya dibuat begitu saja, dan tidak ada argumentasinya sama sekali.
Ketiga, pada saat penerapannya, haruslah tidak diyakini bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW, agar tidak terjadi penisbahan suatu ucapan kepada beliau, padahal nabi tidak pernah mengucapkannya.
Selain syarat di atas, Yusuf Qardhawi menambahkan dua syarat lagi, yaitu : Pertama, hadits itu tidak mengandung hal-hal yang amat dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan, sehingga ditolak oleh akal, syariat, atau bahasa. Kedua, hadits tersebut tidak bertentangan dengan suatu dalil syar’I lainnya yang lebih kuat daripadanya.
Senada dengan uraian di atas, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany menegaskan bahwa ulama-ulama yang menggunakan hadits dha’if itu harus memperhatikan tiga syarat sebagai berikut :
Pertama : kelemahan hadits itu tidak seberapa, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta tidak dipakai;
Kedua : petunjuk hadits itu ditunjuki oleh sesuatu dasar yang
dipegangi, dalam arti memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum
yang sudah dibenarkan.
Ketiga, jangan di i’tikadkan tatkala memeganginya bahwa hadits itu benar dari Nabi, tetapi hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan kepada nash yang tidak ditemui”.
Sekalipun para ulama membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if, tetapi persyaratan yang sangat kuat itu menunjukkan bahwa pada dasarnya para ulama menolak hadits dha’if dijadikan hujjah. Hal ini dapat dimengerti karena agama Islam berkaitan dengan keyakinan, sedangkan keyakinan tidak bisa didasarkan pada dalil yang lemah dan meragukan.
Ketiga, jangan di i’tikadkan tatkala memeganginya bahwa hadits itu benar dari Nabi, tetapi hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan kepada nash yang tidak ditemui”.
Sekalipun para ulama membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if, tetapi persyaratan yang sangat kuat itu menunjukkan bahwa pada dasarnya para ulama menolak hadits dha’if dijadikan hujjah. Hal ini dapat dimengerti karena agama Islam berkaitan dengan keyakinan, sedangkan keyakinan tidak bisa didasarkan pada dalil yang lemah dan meragukan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
*Pengertian Hadist Mursal,Secara istilah hadist mursal berarti
hadist yang diakhir sanad diatas tabi’in terputus. Bentuknya adalah seperti
tabi’in senor atau tabi’in junior berkata bahwa rosulullah saw bersabda
demikian atay melakukan demikian.
*Hukum asal hadist mursal adalah mardud dikarenakan tidak
terpenuhinya salah satu syarat hadist maqbul(yang diterima yaitu yang terputus
sanadnya.
*Pengertian Hadist dhoif adalah hadist yang lemah,sakit,tidak kuat
atau tidak memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima.
*Kriteria atau pembagian hadist dhoif. Para muhadisin menegaskan
bahwa tertolaknya suatu hadist dapat dilihat dari dua aspek yaitu dari segi
sanad dan segi matan. Macam-macam hadist dhoif yaitu hadist maqlub,mudraj dan
mushahaf.
*Kehujahan hadist dhoif,setiap ulama telah sepakat menetapkan bahwa
tidak boleh sekali-kali kita menggunakan hadist dhoif untuk menetapkan suatu
hukum,segenap hukum halal haram,hukum pernikahan,jual beli,talak dll,namun
mereka berbeda pendapat tentang mengamalkan hadist dhoif untuk keutamaan
amal,untuk memerikan kabar ancaman.
DAFTAR PUSTAKA
Taisir Mustholah,al Hadist,Markas al Huda,1415
H
Muhamad Abduh Tuasikal,Faedah dari KajianTaisir
Mustholahal Hadist,1431 H
Fatchur Rahman,Ikhtisar Mushthalahul Hadist,Bandung:PT.Alma’arif,2007.
Teungku Moh.Hasbi ash Shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadist,Semarang:PT Pustaka Riski Putra,1999
http;//ahlusunnahwaljamaah.com,di akses pada 12/11/2011,16:40.
[1]
Taisir Mustholah al Hadist,h 57-58,Markas al Huda,1415 h.
[2]
www.rumaysho.com
[3]
Muhammad AbduhTuasikal,Faedah dari kajian Taisir Mustholahal Hadist,4
rajab 1431 h,hlm 52.
[4] Fatchur
Rahman,Ikhtisar Mushthalahul Hadist,Bandung;PT alma’arif,2007,h.193
[5] Teungku
Moh.Hasbi ash shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist,Semarang:PT.Pustaka
Riski Putra,1999,h 201
[6] http://ahlusunnahwaljamaah.com,di
akses pada 1211/2011 16:40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar