Senin, 21 Mei 2012

MAKALAH USHUL FIQIH (SYARI'AT)


BAB II
HUKUM SYARI’AT
Pembahasan hukum-hukum dalam ushul fiqih itu ada empat, yaitu sebagai berikut :
1.             HAKIM
Hakim adalah orang yang merupakan sumber dari hokum. Dalam hal ini Ulama sepakat mengatakan tentang defenisi hukum syar’i, bahwa firman Allah yang bersangkut perbuatan mukallaf itu ditujukan, atau di pilih, atau ditempatkan. Dari mereka itu perkataan termasyhur, berbunyi: Tidak ada hukum selain hukum Allah SWT.
Madzhab Al Asy Ariah, pengikut Abu Hasan Al Asy Ari mengatakan bahwa, tidak mungkin akal mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf, kecuali dengan perantaraan Rasul dan Kitab. Karena akal itu berbeda-beda kemampuannya dalam menilai perbuatan.
Asas madzhab Al As Ariah adalah  Yang di anggap baik dari perbuatan mukallaf itu yaitu apa yang ditunjukkan oleh syar’i, bahwa dia adalah baik dengan memperbolehkannya.
Menurut madzhab ini, tidak ada yang diberati dalam hukum Allah memperbuat seuatu. Atau meninggalkan sesuatu, kecuali apabila telah sampai seruan Rasul kepadanya. Dan apa-apa yang di syari’atkan oleh Allah SWT.
Madzhab Mu’tazilah, yaitu pengikut Wasil bin Utha’. Madzab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya, tampa perantara Rasul dan Kitab-Nya.

2.              HUKUM
Definisi Hukum Syar’i dalam istilah ushul yaitu , pembicaraan syar’i bersangkut dengan perbuatan mukallaf. Diminta, dipilih, dan ditetapkan Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an : Tepatilah janji itu. Inilah pembicaraan syar’i yang bersangkutan dengan memenuhi janji.
Adapun hukum syar’i menurut istilah Fuqaha, yaitu berita yang melakukan pembicaraan syar’i dalam perbuatan. Seperti wajib, haram, dan mubah.
Macam-Macam Hukum
Hukum syar’i di bagi atas dua yaitu : Hukum taklify dan Hukukm Wad’i.
A.           Hukum taklifiy
Hukumtaklify yaitu apa yang berkehendak minta pebuatan mukallaf atau memberhentikan dari membuat, atau memilih antara memperbuat dan memperhentikan.
Dalam hukum taklify Pembagian-pembagiannya,  yaitu sebagai berikut :
a.              Wajib
Wajib menurut syar’i yaitu apa yang syar’i membuatnya dari mukallaf, permintaaan itu secra pasti, permintaan itu berhubungan dengan apa yang menunjukan kepastian memperbuatnya.
Wajib itu dibagi atas empat bagian, dengan I’tibar yang berbeda-beda:
§  Wajib itu di tinjau dari pihak waktu melakukannya. Dan ada pula secara mutlak menetukan waktu pekerjaan itu. Wajib yang ditentukan itu, yaitu apa yang diminta oleh syari’ memperbuat secara pasti pada waktu yang jelas, seperti shalat lima waktu. Wajib mutlak tentang menentukan waktunya.
§  Wajib itu dibagi dari pihak orang yang meminta untuk membayarkan yang wajib a’inni dan kifa-i. wajib a’inni yaitu apa yang diminta oleh syari’, yang mengerjakan itu pribadi mukallaf. Wajib kifa-i yaitu apa yang diminta oleh syari’, yang memperbuatnya itu sejumlah mukallaf.
§  Wajib itu ditinjau dari pihak banyaknya permintaan. Ada yang terbatas dan ada pula yang tak terbatas. Wajib yang terbatas yaitu apa yang dinyatakan syari’, jumlahnya itu diketahui.
§  Wajib itu dibagi pada wajib mu’ayan dan wajib mukhayar. Wajib mu’ayan itu apa yang diminta orang syari’ itu yaitu a’innya (materinya), seperti puasa, shalat, harga yang di bayar oleh si pembeli. Wajib mukhayar yaitu apa yang diminta oleh syar’i itu satu dari hal-hal yang jelas.
b.       Mandub (sunat)
Mandub ialah apa yang diminta syari’ itu yang diperbuat oleh mukallaf itu, tidak dipastikan. Apabila syari’ itu minta memperbuat dengan sighat yang berbunyi: disunatkan begini dan di mandubkan begini. Yang di minta dengan sighat itu mandub (sunnat). Apabila permintaan itu dengan sight amar (perintah) dan qarinahnya itu menunjukkan pada sunnat, maka yang diminta itu adalah sunnat.
Mandub terbagi atas dua, yaitu sebagai berikut :
1.    Mandub yang diminta memperbuatnya ataas bentuk tak-kid (menguatkan). Yaitu tidak berdosa meninggalkannya. Tapi berhak mendapat celaan dan cercaan. Pembagian ini dinamakan sunat muakad atau sunat huda.
2.    Mandub yang disunatkan memperbuatnya, yaitu orang memperbuatnya itu berpahala, dan meninggalkannya itu tidak berdosa, atau dicela. Pembagian sunat ini dinamakan zaidah atau nafilah.
c.              Haram
Haram yaitu apa yang diminta syari menghentikan perbuatannya, permintaan secara pasti. Sighat minta diperhatikan itu sendiri yang menunjukan bahwa permintaan itu merupakan kepastian.
Haram terbagi atas dua yaitu :
a.    Haram yang ditujukan kepada zatnya. Artinya dia memperbuat menurut hukum syar’i, haram sejak permulaan. Seperti zina, mencuri dan sebagainya.
b.    Haram yang bertentangan. Artinya, menurut perbuatan itu menurut hukum-hukum syar’i, permulaannya wajib, atau sunnat, atau mubah, tapi berkaitan dengan hal-hal yang menyimpang dari syar’i, maka itu dikatakan haram.
d.             Makruh
Makruh yaitu apa yanng diminta syari’ dari mukallaf itu menghentikan pekerjaannya. Permintaan itu tidak pasti, karena sighatnya itu sendirilah yang menunjukan demikian.
b.             Mubah
Mubah yaitu apa-apa yang disuruh pilih oleh syari’ kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkannya. Syar’i tidak meminta si mukallaf mengerjakan perbuatan itu dan tidak pula untuk menghentikannya. Kadang-kadang ditetapkan dengan nash syar’i, boleh memperbuatnya.


B.            Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i itu dibagi atas lima bagian yaitu sebagai berikut :
a.    Sebab
Sebab yaitu, apa yang dijadikan alamat oleh syar’i terhadap musababnya, dan mengikat adanya musabab itu dengan wujudnya a’dam (tidak adanya) dengan a’damnya. Maka tetap dari adanya sebab maka adanya musabab.
Macam-macam sebab yaitu :
Kadang-kadang sebab itu adalah sebab bagi hukum taklifi. Seperti waktu oleh syari’ dijadikan menjadi sebab bagi wajibnya mengerjakan shalat. Berfirman Allah dalam Al-Qur’an:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$#
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir(QS.17:78).

b.   Syarat
Syarat yaitu apa yang terhenti wujud hukum itu atas wujudnya, dan tidak bercerai dari a’damnya itu a’dam hukum. Seluruh syarat-syarat yang disyaratkan oleh syari’, dalam perkawinan, jual beli, hibah, wasiat. Dan disyaratkan bagi wajib bagi shalat yang lima, zakat, puasa, dan haji. Dan yang disyaratkan untuk menegakkan batas-batas hukum dan untuk lainnya.
Syarat-syarat yang disyaratkan oleh perkawinan untuk menjatuhkan talaka kepada istrinya. Dan disyaratkan oleh orang yang memiliki untuk memerdekakan budak (sahaya).
Apabila si mukallaf mengadakan perjanjian jua beli, atau perkaawinan maaka bagi salah satu keduanya itu harus terdapat syarat yang menyangkut masa mendatang. 
c.    Mani’
Mani’ yaitu apa yang tidak berpisah dari adanya dan tidak adanya hukum. Mani’ dalam istilah ushul yaitu perintah disamping menetapkan sebab dan mencukupi syarat-syaratnya.
d.   Rukhsah dan Azimah
Rukhsah yaitu apa yang disyariatkan Allah,dari hal hukum-hukum yang  meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus mempelakukan keringanan. Adapun azimah yaitu apa yang disyariatkan Allah, berasal dai hukum-hukum umum yang tidak dikhususkan.


Macam-macam Rukhsah
ü Memperbolehkan apa yang dilarang diwaktu darurat (keperluan yang sangat mendesak). Mentasbihkan beberapa perjanjian yang diistimewakan.
ü Di antara rukhsah itu ada hukum yang dicabut, yang telah dibuangkan oleh Allah, meruakan hukum yang berat dan sulit dilaksanakan oleh umat-umat sebelum kita. Ulama-Ulama Hanafi membagi rukhsah itu menjadi dua yaitu :
a.    Rukhsah terfiah
b.    Rukhsah isqath.
e.    Sah dan Batal
sah menurut pengertian syari’at it ialah hadits-hadits syar’i tersusun di atasnya. Apabila yang yang mengerjakan itu mukallaf,mengerjakan perbuatan wajib atasnya.

3.       MAHKUM – FIH
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i.
Syarat sahnya taklif itu dengan perbuatan . taklif itu mempunyai tiga syarat:
a.    Diketahui  bahwa si mukallaf itu mempunyai ilmu yang sempurna
b.    Hendaklah diketahui  bahwa taklif itu bersumber dari orang yang mempunyai kekuasaan taklif (paksaan).
c.    Perbuatan mukallaf itu  adalah memungkinkan.
Yang menjadi ciri-ciri dari syarat ini ada dua:
1.    Tidak sah menurut syar’I, paksaan itu terhadap hal-hal yang mustahil. Sama saja apakah mustahil bagi zatnya (menurut akal), atau mustahil untuk lainnya.
2.    Tidak sah menurut syar’I, memaksa si mukallaf menerjakan lain dari pekerjaannya, apa yang tidak sanggup di kerjakannya.
4.         MAHKUM ALAIH
Mahkum Alaih, yaitu perbuayan mukallaf yang menyangkutkan  hukum syar’i. dan diisyaratkan si mukallaf itu untuk mensahkan taklifnya menurut syariat atas dua syarat.
1.    Hendaklah dia mampu memahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-qur’an dan sunah.
2.    Dia ahli tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya.

Keadaan seorang itu dinisbahkan kepada keahlian yang di wajibkan
Seseorang itu di nisbahkan kepada keahlian yang diwajibkan itu mempunyai dua hal:
ü Ada orang yang ahli wujub yan di punyai itu kurang.
Contoh:  -janin yan masih barada dalam perut ibunya. Dia mempunyai hak ,tapi baginya   itu tidak diwajibkan kepada lainnya.
-mayat, apabila orang yang mempiutangkan itu meninggal , maka dia berhak terhadap piutangnya itu.
ü Ada orang yang keahlian wujud yang di punyai itu sempurna. Apabila baik orang ini maka dia tetap mempunyai hak-hak.

Keadaan seseorang  dinisbahkan kepada keahlian bertindak
Orang yang dinisbahkan kepada keahlian bertindak itu mempunyai  tigga hal:
ü Pada mulanya  dia tidak ahli bertindak, atau sudah hilang. inilah dia anak-anak di masa kanak-kanak.
ü Ada pula orang yang kurang ahli dalam bertindak. Yaitu orang yanng telah mumaiz, tapi belum baligh.

Keahlian yang bertentangan
          Telah dikemukakan diatas bahwa ahli wujud itu tetap adanya bagi seseorang, sudah menjadi sifat, karena dia manusia. Janin yang masih dalam perut ibunya itu sudah mempunyai ahli wujud kurang. Setelah lahir ia ditetapkan mempunyai ahli wujud, sekarang dalam bentuk yang sempurna.
Adapun keahlian bertindak, juga telah dikemukakan diatas. Tidak tetap bagi seseorang. Belum ada pada janin sebelum ia dilahirkan. Tidak ada pada anak-anak yang belum berumur tujuh tahun. Adanya usia mumayyiz yaitu setelah berusia tujuh tahun sampai baligh. Artinya orang yang berusia lima tahun, tetap mempunyai keahlian dalam bentuk kurang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar