BAB
II
HUKUM
SYARI’AT
Pembahasan
hukum-hukum dalam ushul fiqih itu ada empat, yaitu sebagai berikut :
1.
HAKIM
Hakim adalah orang yang merupakan
sumber dari hokum. Dalam hal ini
Ulama sepakat mengatakan
tentang defenisi hukum syar’i, bahwa firman
Allah yang bersangkut perbuatan mukallaf itu ditujukan, atau di pilih, atau
ditempatkan. Dari mereka itu perkataan termasyhur, berbunyi: Tidak ada hukum selain hukum Allah SWT.
Madzhab Al Asy Ariah, pengikut Abu Hasan Al
Asy Ari mengatakan bahwa, tidak mungkin akal mengetahui hukum Allah dalam
perbuatan mukallaf, kecuali dengan perantaraan Rasul dan Kitab. Karena akal itu
berbeda-beda kemampuannya dalam menilai perbuatan.
Asas madzhab Al As Ariah adalah Yang di anggap baik dari perbuatan mukallaf
itu yaitu apa yang ditunjukkan oleh syar’i, bahwa dia adalah baik dengan
memperbolehkannya.
Menurut madzhab ini, tidak ada yang diberati dalam hukum Allah
memperbuat seuatu. Atau meninggalkan sesuatu, kecuali apabila telah sampai
seruan Rasul kepadanya. Dan apa-apa yang di syari’atkan oleh Allah SWT.
Madzhab Mu’tazilah, yaitu pengikut Wasil bin Utha’.
Madzab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam
perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya, tampa perantara Rasul dan Kitab-Nya.
2.
HUKUM
Definisi Hukum Syar’i dalam istilah ushul yaitu ,
pembicaraan syar’i bersangkut dengan perbuatan mukallaf. Diminta, dipilih, dan
ditetapkan Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an : Tepatilah janji itu. Inilah
pembicaraan syar’i yang bersangkutan dengan memenuhi janji.
Adapun hukum syar’i menurut istilah Fuqaha,
yaitu berita yang melakukan pembicaraan syar’i dalam perbuatan. Seperti wajib,
haram, dan mubah.
Macam-Macam Hukum
Hukum syar’i di bagi atas dua yaitu : Hukum taklify dan Hukukm
Wad’i.
A.
Hukum taklifiy
Hukumtaklify yaitu apa yang berkehendak minta pebuatan mukallaf atau
memberhentikan dari membuat, atau memilih antara memperbuat dan memperhentikan.
Dalam hukum taklify Pembagian-pembagiannya, yaitu sebagai berikut :
a.
Wajib
Wajib menurut syar’i yaitu apa yang syar’i membuatnya dari
mukallaf, permintaaan itu secra pasti, permintaan itu berhubungan dengan apa
yang menunjukan kepastian memperbuatnya.
Wajib
itu dibagi atas
empat bagian, dengan I’tibar yang berbeda-beda:
§
Wajib itu
di tinjau dari pihak waktu melakukannya. Dan ada pula secara mutlak menetukan
waktu pekerjaan itu. Wajib yang ditentukan itu, yaitu apa yang diminta oleh
syari’ memperbuat secara pasti pada waktu yang jelas, seperti shalat lima
waktu. Wajib mutlak tentang menentukan waktunya.
§
Wajib itu
dibagi dari pihak orang yang meminta untuk membayarkan yang wajib a’inni dan
kifa-i. wajib a’inni yaitu apa yang diminta oleh syari’, yang
mengerjakan itu pribadi mukallaf. Wajib kifa-i yaitu apa yang diminta
oleh syari’, yang memperbuatnya itu sejumlah mukallaf.
§
Wajib itu
ditinjau dari pihak banyaknya permintaan. Ada yang terbatas dan ada pula yang
tak terbatas. Wajib yang terbatas yaitu apa yang dinyatakan syari’, jumlahnya
itu diketahui.
§
Wajib itu dibagi pada wajib mu’ayan dan wajib mukhayar. Wajib
mu’ayan itu apa yang diminta orang syari’ itu yaitu a’innya (materinya),
seperti puasa, shalat, harga yang di bayar oleh si pembeli. Wajib mukhayar
yaitu apa yang diminta oleh syar’i itu satu dari hal-hal yang jelas.
b. Mandub (sunat)
Mandub
ialah apa yang diminta syari’ itu yang diperbuat oleh mukallaf itu, tidak
dipastikan. Apabila syari’ itu minta memperbuat dengan sighat yang berbunyi:
disunatkan begini dan di mandubkan begini. Yang di minta dengan sighat itu
mandub (sunnat). Apabila permintaan itu dengan sight amar (perintah) dan
qarinahnya itu menunjukkan pada sunnat, maka yang diminta itu adalah
sunnat.
Mandub terbagi atas
dua, yaitu sebagai berikut :
1.
Mandub
yang diminta memperbuatnya ataas bentuk tak-kid (menguatkan). Yaitu tidak berdosa
meninggalkannya. Tapi berhak mendapat celaan dan cercaan. Pembagian ini
dinamakan sunat muakad atau sunat huda.
2.
Mandub
yang disunatkan memperbuatnya, yaitu orang memperbuatnya itu berpahala, dan
meninggalkannya itu tidak berdosa, atau dicela. Pembagian sunat ini dinamakan
zaidah atau nafilah.
c.
Haram
Haram yaitu apa yang diminta syar’i
menghentikan perbuatannya, permintaan secara pasti. Sighat minta diperhatikan itu sendiri yang
menunjukan bahwa permintaan itu merupakan kepastian.
Haram terbagi atas dua yaitu :
a.
Haram yang ditujukan kepada zatnya. Artinya dia memperbuat menurut hukum syar’i,
haram sejak permulaan. Seperti zina, mencuri dan sebagainya.
b. Haram yang bertentangan. Artinya, menurut perbuatan
itu menurut hukum-hukum syar’i, permulaannya wajib, atau sunnat, atau mubah,
tapi berkaitan dengan hal-hal yang menyimpang dari syar’i, maka itu dikatakan
haram.
d.
Makruh
Makruh yaitu apa yanng diminta syari’ dari mukallaf itu
menghentikan pekerjaannya. Permintaan itu tidak pasti, karena sighatnya itu sendirilah
yang menunjukan demikian.
b.
Mubah
Mubah yaitu apa-apa yang disuruh pilih oleh syari’ kepada mukallaf antara
memperbuat dan meninggalkannya. Syar’i tidak meminta si mukallaf mengerjakan perbuatan itu dan tidak pula
untuk menghentikannya. Kadang-kadang ditetapkan dengan nash syar’i, boleh
memperbuatnya.
B.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i itu dibagi atas lima bagian yaitu sebagai berikut :
a. Sebab
Sebab yaitu, apa yang dijadikan alamat oleh syar’i terhadap
musababnya, dan mengikat adanya musabab itu dengan wujudnya a’dam (tidak
adanya) dengan a’damnya. Maka
tetap dari adanya sebab maka adanya musabab.
Macam-macam sebab yaitu :
Kadang-kadang sebab itu adalah sebab
bagi hukum taklifi. Seperti waktu oleh syari’ dijadikan menjadi sebab bagi
wajibnya mengerjakan shalat. Berfirman Allah dalam Al-Qur’an:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$#
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir”(QS.17:78).
b.
Syarat
Syarat yaitu apa yang
terhenti wujud hukum itu atas wujudnya, dan tidak bercerai dari a’damnya itu
a’dam hukum. Seluruh syarat-syarat yang disyaratkan oleh syari’, dalam
perkawinan, jual beli, hibah, wasiat. Dan disyaratkan bagi wajib bagi shalat
yang lima, zakat, puasa, dan haji. Dan yang disyaratkan untuk menegakkan
batas-batas hukum dan untuk lainnya.
Syarat-syarat yang disyaratkan oleh
perkawinan untuk menjatuhkan talaka kepada istrinya. Dan disyaratkan oleh orang
yang memiliki untuk memerdekakan budak (sahaya).
Apabila si mukallaf mengadakan perjanjian
jua beli, atau perkaawinan maaka bagi salah satu keduanya itu harus terdapat
syarat yang menyangkut masa mendatang.
c.
Mani’
Mani’ yaitu apa yang tidak berpisah dari adanya dan tidak adanya hukum. Mani’ dalam
istilah ushul yaitu perintah disamping menetapkan sebab dan mencukupi
syarat-syaratnya.
d. Rukhsah dan Azimah
Rukhsah yaitu apa yang disyariatkan Allah,dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal
yang khusus mempelakukan keringanan. Adapun
azimah yaitu apa yang disyariatkan Allah, berasal dai hukum-hukum umum
yang tidak dikhususkan.
Macam-macam
Rukhsah
ü Memperbolehkan
apa yang dilarang diwaktu darurat (keperluan yang sangat mendesak). Mentasbihkan
beberapa perjanjian yang diistimewakan.
ü Di antara
rukhsah itu ada hukum yang dicabut, yang
telah dibuangkan oleh Allah, meruakan hukum yang berat dan sulit dilaksanakan
oleh umat-umat sebelum kita. Ulama-Ulama Hanafi membagi rukhsah itu menjadi dua yaitu :
a.
Rukhsah terfiah
b.
Rukhsah isqath.
e. Sah dan Batal
sah menurut pengertian syari’at it ialah hadits-hadits
syar’i tersusun di atasnya. Apabila yang yang mengerjakan itu
mukallaf,mengerjakan perbuatan wajib atasnya.
3. MAHKUM – FIH
Mahkum fih yaitu
perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i.
Syarat sahnya taklif itu dengan perbuatan .
taklif itu mempunyai tiga syarat:
a.
Diketahui bahwa si mukallaf
itu mempunyai ilmu yang sempurna
b.
Hendaklah diketahui bahwa
taklif itu bersumber dari orang yang mempunyai kekuasaan taklif (paksaan).
c.
Perbuatan mukallaf itu
adalah memungkinkan.
Yang menjadi ciri-ciri dari syarat ini ada dua:
1.
Tidak sah menurut syar’I, paksaan itu terhadap hal-hal yang
mustahil. Sama saja apakah mustahil bagi zatnya (menurut akal), atau mustahil
untuk lainnya.
2.
Tidak sah menurut syar’I, memaksa si mukallaf menerjakan lain dari
pekerjaannya, apa yang tidak sanggup di kerjakannya.
4. MAHKUM
ALAIH
Mahkum Alaih, yaitu perbuayan
mukallaf yang menyangkutkan hukum
syar’i. dan diisyaratkan si mukallaf itu untuk mensahkan taklifnya menurut
syariat atas dua syarat.
1.
Hendaklah dia mampu memahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami
undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-qur’an dan sunah.
2.
Dia ahli tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya.
Keadaan seorang itu dinisbahkan kepada keahlian yang di wajibkan
Seseorang itu di nisbahkan kepada keahlian yang diwajibkan itu
mempunyai dua hal:
ü Ada orang yang
ahli wujub yan di punyai itu kurang.
Contoh: -janin yan masih
barada dalam perut ibunya. Dia mempunyai hak ,tapi baginya itu tidak diwajibkan kepada lainnya.
-mayat, apabila orang yang mempiutangkan itu meninggal , maka dia
berhak terhadap piutangnya itu.
ü Ada orang yang
keahlian wujud yang di punyai itu sempurna. Apabila
baik orang ini maka dia tetap mempunyai hak-hak.
Keadaan seseorang
dinisbahkan kepada keahlian bertindak
Orang yang dinisbahkan kepada keahlian bertindak itu mempunyai tigga hal:
ü Pada
mulanya dia tidak ahli bertindak, atau
sudah hilang. inilah dia anak-anak di masa kanak-kanak.
ü Ada pula orang yang
kurang ahli dalam bertindak. Yaitu orang yanng telah mumaiz, tapi belum baligh.
Keahlian yang bertentangan
Telah dikemukakan diatas bahwa ahli wujud itu
tetap adanya bagi seseorang, sudah menjadi sifat, karena dia manusia. Janin
yang masih dalam perut ibunya itu sudah mempunyai ahli wujud kurang. Setelah
lahir ia ditetapkan mempunyai ahli wujud, sekarang dalam bentuk yang sempurna.
Adapun keahlian bertindak, juga telah
dikemukakan diatas. Tidak tetap bagi seseorang. Belum ada pada janin sebelum ia
dilahirkan. Tidak ada pada anak-anak yang belum berumur tujuh tahun. Adanya
usia mumayyiz yaitu setelah berusia tujuh tahun sampai baligh. Artinya orang
yang berusia lima tahun, tetap mempunyai keahlian dalam bentuk kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar