BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Teologi Islam (ilm al-kalâm asy`ari), secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak
bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun filosofis.1
Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk
mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan
dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping
bahwa ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan
kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan
di bumi. Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari
sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung
sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas
dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran.2
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan
teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya
melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi,3
dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam
kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur
dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme
(dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam
ekonomi).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ‘Khalil Agha’, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga
mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial
dan keislaman.
Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan
studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai
tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke
Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil
menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan
tesis ‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des
Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenologie,
L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son
Application au Phenomene Religiux’.
Karier akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Profesor Filsafat
(1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan diserahi
jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang
sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah dibeberapa
negara, seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple
University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979)
dan Universitas Fez Maroko (1982-1984). Selanjutnya, diangkat
sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo (1984-1985), di
Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasehat program
pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).
Disamping
dunia akademik, Hasan hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan.
Aktif sebagai sekretaris umum
Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan
Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab
dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai
dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islamî. Pemikirannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat,
sehingga menyeretnya dalam
penjara.
B. Pemikiran Hasan Hanafi
a. Kritik Terhadap Teologi
Tradisional
Dalam Gagasanya tentang rekontruksi teologi tradisional, Hasan Hanafi
menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan
(teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teolog
tradisional menurut hanafi lahir dari konteks sejarah ketika inti Islam sistem
kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, sementara konteks sosial politik saat
ini sudah berubah. Islam mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran
dalam periode kolonialisasi. Oleh karena itu kerangka konseptual lama harus di
ubah karena berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi konseptual
baru yang berasal dari kebudayaan modern.
Selanjutnya, hanafi memandang teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari
kehampaan sejarah, melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh
karena itu kritik kepada teologi merupakan hal yang sah dan dibenarkan. Menurut
hanafi, Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan (seperti arti secara epistimologi
dari kata Theose dan logos) melainkan theology adalah ilmu tentang kata (kalam)
Tuhan, Karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri
dalam sabdanya yang berupa wahyu.
Hanafi ingin meletakan teologi tradisional Islam pada tempat yang
sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh
dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi adalah ilmu
kemanusiyaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara
historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam. Pemikiran ini juga tidak jauh
berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi di Kristen.
Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan hanafi gagal menjadi
idiologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh
para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan
nilai-nilai perbuatan manusia.
b. Rekonstruksi Teologi
Melihat kegagalan teologi tradisional, hanafi mewacanakan rekonstruksi
teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi
manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi ,
serta membangun kembali epistimologi lama menju epistimologi yang baru. Tujuan
pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak
sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang
perjuagan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi
secara aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Menurut Hasan hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang
kurangnya dilator belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di
tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi
teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara
nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan
praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan
keterbelakangan di negara-negara muslim.
Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara
nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Menurut hasan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang
harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit
bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi
sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun
kesejahteraan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori
ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas.
Casino & Games: Where to Play Slots Online - Dr.MCD
BalasHapusOnline 나주 출장마사지 slot machines are the 문경 출장마사지 newest 포천 출장안마 forms 군포 출장마사지 of gambling. They're the new fun gambling online gaming sites that we all know and love. You'll find a 영주 출장마사지 casino