BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Wacana
masyarakat madani yang sudah menjadi arus utama dewasa ini, baik di lingkungan
masyarakat, pemerintah, dan akademisi, telah mendorong berbagai kalangan untuk
memikirkan bagaimana perkembangan sektor-sektor kehidupan di Indonesia yang
sedang dilanda reformasi itu dapat diarahkan kepada konsep masyarakat madani
sebagai acuan baru. Dalam perkembangan wacana tersebut bidang ekonomi agaknya
belum mendapatkan perhatian. Di bidang ini, yang masih menjadi acuan utama
adalah konsep demokrasi ekonomi, Ekonomi Pancasila, dan akhir-akhir ini,
ekonomi rakyat. Pertanyaannya adalah, apa kaitan konsep ekonomi madani dengan
konsep-konsep yang juga masih ramai diperbincangkan itu? Salah satu masalah
yang timbul dalam wacana baru tersebut adalah bahwa konsep masyarakat madani
itu sendiri dewasa ini masih berada dalam proses pencarian. Masih menjadi
pertanyaaan, misalnya, apakah masyarakat madani itu identik dengan /civil
society/ yang bercirikan individualisme, ekonomi pasar dan pluralisme budaya
itu? 1. Konsep masyarakat madani memang telah menjadi wacana utama dan acuan,
termasuk dalam memikirkan kembali sistem ekonomi Indonesia. 2 Konsep ini mengandung
unsur-unsur pemikiran dan kerangka baru yang telah berkembang secara global,
tidak saja di negara-negara sedang berkembang, melainkan juga di negara-negara
maju sendiri yang sudah lama mengenal dan mengembangkan konsep ini. 3. Karena itu, maka Sistem Ekonomi Indonesia di
era reformasi ini harus memperhatikan wacana masyarakat madani tersebut. 4
Namun, sistem ekonomi, di samping sistem politik dan sistem sosial-budaya
adalah salah satu komponen dalam masyarakat madani. Oleh karena itu maka wacana
tentang sistem ekonomi ini juga akan ikut mewarnai corak masyarakat madani yang
dicita-citakan. Konsep ini mencakup komponen-komponen negara (/state/), pasar
(/market/), sektor voluntir (/voluntary sector/) atau gerakan baru masyarakat
(/new social movement/) serta individu dan keluarga (/individuals and
family/).5 Semua komponen tesrebut dituntut mengembangkan etos kerja dan
kualitas pelayanan lebih baik dan memiliki sikap dan perilaku yang berintikan
pengabdian yang utuh bagi masyarakat (/public service oriented)./ Inilah
harapan masyarakat madani (/civil society/)6 yaitu masyarakat yang maju, mandiri,
sejahtera dalam suasana berkeadilan dilandasi oleh iman dan taqwa.
- Identifikasi Masalah
Untuk memperkaya wawasan dan
pemahaman pembaca tentang masyarakat madani, maka dapat disimpulkan beberapa
pokok antara lain : a). Konsep dari masyarakat madani. b). Masyarakat madani
dalam kacamata islam c). Masyarakat madani di Indonesia
C. Rumusan Masalah
a). Apa pengertian masyarakat
madani? b). Mengapa civil society disamakan sebagai sebutan masyarakat madani?
c). Apakah masyarakat madani dizaman Rasullullah sudah dapat disebut sebagai
masyarakat madani? d). Bagaimana upaya yang dilakukan untuk membentuk
masyarakat madani di Indonesia?
*BAB II
PEMBANGUNAN
MASYARAKAT MADANI
- Pengertian
Makna Civil Society atau
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari
civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah
pergumulan masyarakat. Cicero
adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civil dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara
(state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque,
JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278). Cornelis Lay
melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari
kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan
kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi
yang independen. Ia adalah agen,
sekaligus hasil dari transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara
menurut Haynes, tekanan dari “masyarakat sipil†sering memaksa pemerintah
untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi
politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai, yang
demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes, 2000: 28).
Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin
berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh
kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan
politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada tiga,
yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara;
(2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara
aktif dari warga negara melalui wacana dan praktis yang berkaitan dengan
kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia
tidak intervensionis. Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi
individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan
moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga
politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi
masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman
konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok,
dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan
pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan
harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko,
2003: 212). Antara Masyarakat Madani dan Civil Society Sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islamiâ€. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang
dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim
modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil
society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan.
Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.
Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah
masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai
etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif,
2004: 84). * * *B. * *Ciri-ciri Masyarakat Madani* * * Ada beberapa ciri-ciri
utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari
individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan
dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan
politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang
berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa
negara agar ia tidak intervensionis. Berikut ini adalah beberapa karakteristik
masyarakat madani: 1. */Free public sphere/* (ruang publik yang bebas), yaitu
masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. 2.
*/Demokratisasi/*, */yaitu/* proses untuk menerapkan prinsip-prinsip
*/demokrasi/* sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan
demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi,
kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada
orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi
dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi: */a) /*
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) */b) /* Pers yang bebas */c) /* Supremasi
hukum */d) /* Perguruan Tinggi */e) /* Partai politik 3. */Toleransi/*, yaitu
kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial
yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat
serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain. 4. */Pluralisme/*,
yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan
sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari
Tuhan Yang Maha Kuasa. 5. */Keadilan sosial (social justice)/*, yaitu
keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. 6. */Partisipasi sosial/*,
yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi,
ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan
dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab. 7. */Supremasi hukum/*, yaitu
upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan
secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang
sama tanpa kecuali. Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan
masyarakat madani di Indonesia diantaranya: 1. Kualitas SDM yang belum memadai
karena pendidikan yang belum merata. 2. Masih rendahnya pendidikan politik
masyarakat. 3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang
terbatas. 5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
*C. * *Konsep Masyarakat Madani* * * Konsep masyarakat madani yang menjadi
perbincangan dewasa ini pada dasarnya memang mengacu pada konsep /civil
society/ yang sudah berkembang di Barat, walaupun akhir-akhir ini sedang digali
juga pemikiran yang mengacu kepada “masyarakat Madinahâ€. Konsep /civil
society/ yang telah mapan, sekalipun selalu mengalami pemikiran ulang
(/rethinking/) itu, bukan merupakan konsep yang universal, melainkan
historis-kontekstual. Secara historis, /civil society/ dibentuk oleh tiga
kejadian besar di Eropa Barat. /Pertama/, Reformasi Teologis yang menghasilkan
sekularisme. /Kedua/, Revolusi lndustri yang menghasilkan model teknokratisme,
baik yang bercorak kapitalisme pasar, sosialisme maupun negara kesejahteraan
(/welfare state/). /Ketiga/ Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang
menghasilkan model negara dan masyarakat yang mengacu kepada trilogi /liberte,
egalite, fraternite/ dalam berbagai coraknya. Salah satu ide penting yang
melekat dalam konsep /civil society/ adalah keinginan memperbaiki kualitas
hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor
publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan
sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok
profesional). Secara politis, melalui konsep /civil society/ dapat diciptakan
bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya
demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi
kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan /stagnant/ atau
berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep /civil society/ dapat
dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan
ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada
manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap
kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui /civil society/ dapat
dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat, atau keseimbangan antara /individual participation/ dan
/socialobligations/. Dalam konteks ini, konsep /civil society/ kurang
lebih sama dengan pengertian /gemeinschaft/ (paguyuban) atau
/mezzo-structures./ Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks
daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal,
seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di
dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan
terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau
perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan. Kelahiran ide /civil
society/ kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan
kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana.
Benar memang ada sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan
masyarakat, tetapi pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru
menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan
masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi
politik yang seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial
tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (/the
ruling class/). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi
birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh
pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang
berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang
menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi
ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan
mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting Civility: Predicament of a
Post-Communist Society’/,/ dalam Jeffrey C. Alexander (ed.), /Real Civil
Societies, Dilemmas of Institutionalization/, 1998, p. 1913 Budiman, Arief,
/State and Civil Society,/ The Publications Officer, Centre of Southeast Asian
Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim
berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya
lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan
rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.
Atau adi kuasa, /civil society/ berusaha menciptakan interaksi antara negara
dan masyarakat dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling
menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam /civil society/
adalah partisipasi politik dalam arti peran masyarakat sangat diperhitungkan
dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat dapat mewarnai
keputusan publik. Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (/state
accountability/) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada masyarakat
bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
efisien (mengeluarkan /resources/ secara porposional dengan hasil optimal) dan
efektif (tidak merusak atau bertentangan dengan nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat). Selanjutnya, ide /civil society/ menghendaki
institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta maupun sektor
sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif atau berupa
asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi
semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan sebagai mimbar
masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum atau asosiasi semacam itu /civil society/ menjamin adanya
kebebasan mimbar, kebebasan melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini
publik. Itulah sebabnya seringkali dinyatakan bahwa /civil society/ adalah awal
kondisi yang sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik
/civil society/ bertentangan dengan karakteristik /political society/ (yang
menempatkan negara pada posisi sentral), namun tidak berarti bahwa /civil
society/ harus selalu melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu
politik yang telah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap
diperlukan. Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep /civil society/
adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan
institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai
politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat,
organisasi keagamaan dan kelompok profesional). Secara politis, melalui konsep
/civil society/ dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris,
sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila
negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses
demokratisasi akan /stagnant/ atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui
konsep /civil society/ dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang
menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak
ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan
bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial,
melalui /civil society/ dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara
/individual participation/ dan /socialobligations/. Dalam konteks ini,
konsep /civil society/ kurang lebih sama dengan pengertian /gemeinschaft/
(paguyuban) atau /mezzo-structures./ Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang
lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak
terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang
terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai
bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun
solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa
sepenanggungan. Kelahiran ide /civil society/ kelihatan sebagai bagian dari
sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui
negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat
memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti memperlihatkanbahwa
sejumlah negara justru menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi
sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi
birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan menghadirkan
kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut didominasi dan ditentukan oleh
kemauan rejim yang berkuasa (/the ruling class/). Ketika kedudukan rejim yang
berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak dapat secara optimal
melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya
menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan
strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi
aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat
tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr,
‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’/,/ dalam
Jeffrey C. Alexander (ed.), /Real Civil Societies, Dilemmas of
Institutionalization/, 1998, p. 1913 Budiman, Arief, /State and Civil Society,/
The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University,
Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka
justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut. Para
birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan kemuan
rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga
dapat membuat institusi politik menjadi mandul. * * * * *D. * *Masyarakat
Madani Dalam Islam* * * Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas
jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk
melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada
kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan
sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong),
takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas). Masyarakat
ideal - kerap disebut masyarakat madani yang kadang disamakan dengan masyarakat
sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik,
berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban
individu dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan
terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan
sistem yang transparan.Dalam konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat
madani sebagai terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata
ini secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’ berasal dari
kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya aktivitas,
dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban, karena kata
‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti
‘peradaban’. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
peradaban. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada
umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun
berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu
menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang
subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah
perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi
disambut oleh penduduk kota
itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala’a al-badru ‘alaina (Bulan
Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak
menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib
menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan
“madinah†memang diartikan sebagai “kotaâ€. Tetapi secara ilmu
kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradabanâ€. Dalam bahasa Arab,
“peradaban†memang dinyatakan dalam kata-kata “madaniyah†atau
“tamaddunâ€, selain dalam kata-kata “hadharahâ€. Karena itu tindakan Nabi
mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan
niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari
kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat
beradab. *E. * *Masyarakat Madani Di Indonesia* * * Tantangan masa depan
demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses
yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan
universal. Kita semua harus bahu membahu agar jiwa dan semangat kemanusiaan
universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap anak bangsa sehingga nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, terdapat
beberapa pokok pikiran penting dalam pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1)
pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme, (2) makna dan semangat
musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk
dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suaraâ€, (3)
mengurangi dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri
dan mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif, (4) menjunjung
tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan sehat adalah
hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya kebutuhan
pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan sikap yang
baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik masing-masing.
Pemberdayaan masyarakat madani ini menurut penulis harus di motori oleh dua
ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi Islam ini usia lebih tua
dari republik. Oleh karena itu, ia harus lebih dewasa dalam segala hal. Wibawa,
komitmen dan integritas para pemimpin serta manajemen kepemimpinannya harus
bisa seimbang dengan para pejabat negara, bahkan ia harus bisa memberi contoh
baik bagi mereka. Ayat yang disebutkan di awal itu mengisyarakat bahwa
perubahan akan terjadi jika kita bergerak untuk berubah. /“Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiriâ€./ Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia,â€(QS Ar-Ra’d [13]: 11). Masyarakat
madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan mendorong masyarakat.
Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis melalui penyelenggaraan program
pendidikan, peningkatan perekonomian rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan
pemberian modal kepada pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal,
yang menurut penulis sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh
elemen-elemen masyarakat madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan
mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk membangun
masyarakat yang maju dan berbudaya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dilandasi dengan iman dan takwa, paling tidak harus ada tiga syarat:
menciptakan inovasi dan kreasi, mencegah kerusakan-kerusakan sumber daya, dan
pemantapan spiritualitas. Masyarakat madani itu hendaknya kreatif terhadap
hal-hal baru, antisipatif dan preventif terhadap segala kemungkinan buruk,
serta berketuhanan Yang Maha Esa. Jika syarat-syarat dan komponen-komponen
masyakarat madani berdaya secara maksimal, maka tata kehidupan yang demokratis
akan terwujud. Selain ikut membangun dan memberdayakan masyarakat, masyarakat
madani juga ikut mengontrol kebijakan-kebijakan negara. Dalam pelaksanaannya,
mereka bisa memberikan saran dan kritik terhadap negara. Saran dan kritik itu
akan objektif, jika ia tetap independen. Setiap warga negara berada dalam
posisi yang sama, memilik kesempatan yang sama, bebas menentukan arah hidupnya,
tidak merasa tertekan oleh dominasi negara, adanya kesadaran hukum, toleran,
dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Masyarakat madani sukar
tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan
melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan,
terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam
wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya.
Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan
pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki
kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. * * *F. * *Analisa
Masalah* * * Sesuai dengan pengertian dan masyarakat yaitu masyarakat yang
beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak
kekurangan yang terjadi dinegara kita. Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di
Indonesia diantaranya: 1). Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan
yang belum merata. 2). Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat. 3).
Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter. 4). Tingginya
lapangan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas. Oleh
karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman pemberdayaan civil
society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya: 1). Sebagai
pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
2). Sebagai advokasi bagi masyarakat yang teraniaya, tidak berdaya membela
hak-hak dan kepentingan mereka. *BAB III* *PENUTUP* * * *A. * *KESIMPULAN* * *
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama
kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana
Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah
pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu
diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof.
Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri
ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani†berarti civil atau civilized
(beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti
hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan
intelektual muslim Melayu yang mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam
kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil
society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan
sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde
Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional
yang tak berkesudahan. Makna Civil Society “Masyarakat sipil†adalah
terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari
sejarah pergumulan masyarakat. Konsep civil society pertama kali dipahami
sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari
pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai
menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian
kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278). Ada
beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang cukup
tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya
ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana
bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan
praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan
membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Konsep civil society dalam
arti politik bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara
dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik
pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil
society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global
dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk
kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil
society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip
demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa
(Haryatmoko, 2003: 212). Antara masyarakat madani dan Civil Society sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang
dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islamiâ€. Menilik
dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat
Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya. Masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat barat secara
teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka. Nilai-nilai yang juga
dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil
lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang
dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan
keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat
madani, keadilan adalah satu pilar utamanya. Perbedaan lain antara civil
society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas,
sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat
sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai
moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat
madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini
Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka,
egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang
bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). Sebagaimana yang
terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap
kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok
lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti
penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun,
diganjar dengan hukuman yang berlaku. Komunitas Muslim awal merupakan
masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya adalah tingginya tingkat
komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan
publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan
pemimpin tidak berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N.
Bellah, 2000: 211). Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas
jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk
melahirkan masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada
kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan
sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong),
takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas). Masyarakat
ideal - kerap disebut masyarakat madani – yang kadang disamakan dengan masyarakat
sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan sosial yang baik,
berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban
individu dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan
terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan
sistem yang transparan. Masyarakat madani memiliki peran signifikan
dalam memelopori dan mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa
ia rintis melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian
rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada pengusaha dan
menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis sangat kongkrit
dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat madani, khususnya
ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong perubahan masyarakat ke arah yang
lebih baik. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format
seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang
terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di
lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang
sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk
profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000:
112-113). Dilihat dari sejarahnya civil society yang bertujuan untuk
menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model
Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-Ã -vis masyarakat.
Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah
masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau
negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani,
tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak
karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. * * *B. * *SARAN* * * Dalam era reformasi
itu kita perlu melakukan kaji ulang dan wacana baru dengan mempertimbangan
faktor-faktor yang menjadi kecenderungan nasional, regional, dan global,
seperti meningkatnya peranan pasar, perampingan peranan negara dan perlunya
pemberdayaan lembaga-lembaga /civil society/ dan gerakan sosial baru (/new
social movement/). Wacana masyarakat madani agaknya berbeda dengan wacana
/civil society/ yang berkembang di Barat, walaupun konsep /civil society/ itu
menjadi rujukan penting. Namun harus diingat, bahwa wacana /civil society/ itu
sendiri, baik di negara-negara industri maju maupun di Dunia Ketiga, masih
terus berlangsung dalam konteks baru. Oleh karena itu, masyarakat madani yang
sedang dipikirkan di Indonesia ini merupakan wacana yang tebuka. *DAFTAR
PUSTAKA* /Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan
Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan
Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar./
/Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung
Mas Inti./ /Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27
Februari 1999. Jakarta./ /Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society
(Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan
Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar./ /Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and
Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd./ /Hidayat, Komaruddin dan
Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv./
/Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat
madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan
Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar./
/Ismail, Faisal. 1999. NU,
Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana./ /Mohtar Mas’oed. (1999).
Republika 3 Maret 1999./ /Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur.
Kompas Online. 5 November 1999./ /Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.).
1979. The Legacy of Islam. London: Oxford University
Press./ /Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya
dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat./ /Wahid, Abdurrahman.
1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. / / 11/9/99.
Hal. 1./ Posted by Rafi at 09:53:16 Comments Leave a Reply Click here to cancel
reply. Name (required) Mail (will not be published) (required) Website Search
for: Calendar February 2009 M T W T F S S 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Tags Archives * February 2009 Recent
Comments * Create Blog * Login * Random Blog * Go!